2012-06-18

DANA TALANGAN HAJI

PENDAHULUAN

Dewasa ini, dunia perbankan dan lembaga keuangan syariah mengalami perkembangan yang sangat cepat. Produk-produk yang inovatif juga bermunculan secara beragam sehingga beberapa model akad multi jasa tidak bisa dihindari lagi, bahkan semakin marak. Seperti praktik adanya pembiayaan dana talangan haji bagi para calon yang ingin menunaikan haji yang sekarang ini sedang menjamur di tengah masyarakat. Sebagian orang menganggap dana talangan haji sebagai aplikasi dari akad qardh (pinjaman) dan Ijarah (sewa-menyewa jasa).
Di satu sisi, masyarakat memandang adanya pembiayaan dana talangan haji sebagai alternatif yang cukup menarik untuk mengatasi masalah sulitnya berhaji, baik karena faktor pendanaan yang belum mencukupi maupun karena terbatasnya quota haji yang tersedia untuk calon jamaah haji di Indonesia. Namun di sisi lain, diduga ada unsur riba dalam praktek dana talangan haji. Hal ini karena praktek dana talangan haji mengharuskan calon jamaah haji membayar sejumlah uang lebih daripada yang dipinjamnya.
Lembaga perbankan dan keuangan syariah serta pakar ekonomi Islam harus memahami dengan baik perkembangan terakhir tentang produk-produk yang mereka tawarkan sekarang ini. Setiap produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah kepada masyarakat hendaknya betul-betul diperhatikan apakah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah dalam Islam ataukah tidak.                                              




PEMBAHASAN

A.    Kewajiban Haji, al-Qardh dan al-Ijarah

1.    Haji dalam al-Qur’an dan al-Sunnah
Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima, sehingga wajib bagi setiap muslim yang telah aqil baligh untuk melaksanakan ibadah haji. Allah SWT berfirman:
   ••          

Artinya: “ Ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah ”. (QS. Ali Imran : 97)
Secara eksplisit ayat ini menggunakan  jumlah khabariyyah (kalimat berita) yang bermakna perintah, karena lafadz  pada ayat tersebut adalah isim fi’il amr yang menyatakan kewajiban haji.
Kata  •yang didahului dengan huruf alif lam menunjukkan semua manusia secara umum. Adapun kata “” adalah takhsis ittishal atau pengkhususan yang bersambung dalam satu ayat yang sama, sehingga orang yang wajib haji itu hanyalah orang yang telah masuk dalam kategori istitha’ah (orang yang mampu) saja.
Pengertian istitha’ah dijelaskan oleh sabda Nabi SAW sebagai berikut:
Artinya: “Dari Anas bahwa Nabi SAW, didalam firman Allah ‘azza wajalla “man istatha’a ilaihi sabiila”, ia berkata bahwa Nabi SAW ditanya: Wahai Rasulullah apa yang dimaksud dengan “as-sabil”? Beliau menjawab: Bekal dan perjalanan.”(HR. Ad Daruquthni).
Menurut mayoritas ulama’ dalam kitab al-Bahr, bekal merupakan syarat wajib haji. Bekal adalah harta yang dapat mencukupi diri sendiri dan mencukupi keluarga yang menjadi tanggungannya selama ia melaksanakan ibadah haji. Selain bekal, ia juga harus mampu dalam hal kendaraan, maksudnya yaitu mempunyai biaya untuk ongkos menuju ke tanah suci
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang belum tergolong dalam kategori “istitha’ah” tidak perlu memaksakan diri untuk menunaikan ibadah haji. Allah SWT berfirman :  لايُكَلِّفُاللَّهُنَفْسًاإِلاوُسْعَهَا
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. al Baqarah : 286)
Huruf  لَا dalam permulaan ayat ini adalah Laa Nafi yang bertemu dengan fi’il mudhari’ berfungsi untuk meniadakan secara menyeluruh. Maksudnya Allah tidak akan membebani setiap orang sedikitpun. Adapun huruf  إِلَّا di sini adalah huruf istisna’ yang fungsinya untuk pengecualian. Secara keseluruhan dapat diartikan “tidaklah Allah itu membebani hamba-Nya sedikitpun, kecuali sesuai batas kemampuan hamba-Nya saja”. Sehingga tidak layak bagi seorang muslim memaksakan diri untuk menunaikan ibadah haji dengan melakukan berbagai cara yang akan memberatkan diri sendiri.

B.    Hakikat al-Qardh(Memberi Pinjaman)

1.    Pengertian dan Dalil Pensyariatanal-Qardh

Al-Qardh ialah harta yang diberikan oleh orang yang menghutangi kepada orang yang berhutang, untuk dikembalikan sebesar apa yang dipinjam ketika si penghutang mampu membayarnya. Al-qardh secara bahasa ialah memotong.Dan harta yang diambil oleh orang yang berhutang disebut al-qardh karena orang yang menghutangi memotongnya dari hartanya.
Dalil pensyariatan al-qardh adalah hadits dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, 'Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Barang siapa yang membantu seorang mukmin terhadap kesusahan dari kesusahan dunia, niscaya Allah SWT membantunya terhadap segala kesusahan hari kiamat. Dan barang siapa yang memberi kemudahan kepada orang yang kesusahan, niscaya Allah SWT memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Dan barang siapa yang menutup (aib) seorang muslim niscaya Allah SWT menutupi (kesalahannya) di dunia dan akhirat. Dan Allah SWT selalu menolong hamba selama hamba itu selalu menolong saudaranya.”(HR. Muslim).
Hadits di atas menunjukkan bahwa pinjaman disyariatkan dalam rangka saling membantu diantara umat muslim. Selayaknya umat Islam memperhatikan syariat pinjaman (al-qardh) dengan semangat membantu saudaranya sesama muslim, tanpa mengharap imbalan (tambahan) dari saudaranya yang berhutang kepadanya. Syari’at menjelaskan bahwa al-qardh tidak membolehkan adanya tambahan pengembalian, sebagaimanaQaidah ushuliyah menyebutkan:
                                                                                  كُلُّقرْضٍشرطفيهانيزيدهفهوحرام
Artinya: “Setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan hukumnya haram”.

2.    Fatwa DSN 19/DSN-MUI/IV/2001: Tentang Al-qardh
Pertama: Ketentuan Umum al-Qardh
a.    Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
b.    Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.
c.    Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
d.    LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.
e.    Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
f.    Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat:
1)    memperpanjang jangka waktu pengembalian.
2)    menghapus(write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.

Kedua:  Sanksi
a.    Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
b.    Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat berupa  penjualan barang jaminan.
c.    Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh.

Ketiga: Sumber Dana
Dana al-Qardh dapat bersumber dari:
a.    Bagian modal LKS;
b.    Keuntungan LKS yang disisihkan; dan
c.    Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.


C.    Hakikat al-Ijarah (Upah)

1.    Pengertian dan Dalil Pensyariatan al-Ijarah (Upah)
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (owner ship/milkiyah) atas barang itu sendiri.
 Dalil pensyariatan Ijarah adalah firman Allah:
أُجُورَهُنَّ فَآَتُوهُنَّ لَكُمْ أَرْضَعْ فَإِنْ
Artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. ath-Thaalaq: 6).
  
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, Ya Bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”(QS. Al-Qashash: 26).


Artinya:“Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidr menegakkan dinding itu, Musa berkata, Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.” (QS. Al-Kahfi: 77)

2.    Fatwa DSN MUI NO. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiyaan Iijarah

Pertama :    Rukun dan Syarat Ijarah
a.    Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
b.    Pihak-pihak yang berakad: terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa.
c.    Obyek akad ijarah adalah:
1)    manfaat barang dan sewa; atau
2)    manfaat jasa dan upah.

Kedua:    Ketentuan Obyek Ijarah
a.    Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
b.    Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
c.    Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
d.    Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari’ah.
e.    Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
f.    Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
g.    Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
h.    Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
i.    Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.


Ketiga :    Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
a.    Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
1)    Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan.
2)    Menanggung biaya pemeliharaan barang.
3)    Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
b.    Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
1)    Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak.
2)    Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
3)    Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

Keempat : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

D.    DANA TALANGAN HAJI

1.    Hakikat Dana Talangan Haji

Dana talangan haji adalah dana yang dipinjamkan oleh pihak bank kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh kursi haji saat pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH). Berikut ini adalah contoh beberapa bank yang mempraktekkan dana talangan haji.
Menurut Bank BPD Syariah DIY, dana talangan haji merupakan cara memanfaatkan pembiayaan haji untuk merealisasikan perjalanan ke Baitullah secara lebih pasti dan lebih dekat waktu keberangkatannya. Pembiayaan dana talangan haji ini menggunakan akad ijarah multi jasa, dengan setoran tabungan minimum Rp 2.000.000,00 dan membayarkan biaya administrasi pembiayaan Rp 250.000,00 dan jangka waktu pembiayaan maksimum 48 bulan. Fee Ujrah sebesar 7,3% yang kesemuanya sudah dimasukkan dalam ketentuan angsuran tiap bulan. Dan bagi nasabah yang tidak mengangsur selama 3 bulan maka gugurlah kesempatannya untuk mendapatkan porsi haji.
Dalam prinsip syariat, transaksi tabarru’at merupakan transaksi yang bertujuan untuk kepentingan sosial yang tidak mensyaratkan tambahan apapun.Berbeda dengan transaksi mu’awwadhat yang bertujuan untuk komersil atau mencari keuntungan. Setiap transaksi memiliki ruhnya masing-masing, sehingga tak dapat dengan mudah dan menyalahi aturan jika digabung-gabungkan antara satu dengan yang lain. Transaksi tabarru’atakan menjadi tidak sah bila disyaratkan adanya tambahan, sehingga tak dapat digabungkan dengan tujuan komersil yang menuntut adanya keuntungan. Bila dipaksakan, akad qardhakan rusak karena adanya selisih yang tidak dapat menyandang dua status sekaligus. Sekalipun akan berstatus sebagai ujrah dalam akad ijarah, ia akan tetap berstatus riba pada akad qardh, sehingga tidak mungkin disatukan. Terkecuali ada kerelaan untuk merubah akad mu’awwadhat menjadi tabarru’at yang hal ini dibolehkan.
Melalui keterangan di atas dapat diketahui bahwa praktik dana talangan haji di dalamnya terdapat unsur riba. Riba merupakan segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi.Riba diharamkan oleh syari’at berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah (2) ayat 275 yang artinya:
 “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Dana talangan haji juga menggunakan akad ijarah.Akad tersebut bersifat mu’awwadhat yang menuntut adanya ujrah.Apabila selisih yang dibayarkan oleh nasabah dikategorikan sebagai ujrah, Hal ini merupakan hal yang tidak sesuai dengan ‘urfatau adat kebiasaan karena biaya administrasi tersebut terlalu besar dan tidak seimbang dengan jasa yang diberikan.
Dengan demikian, akad ijarah multijasa tidak dapat dibenarkan menurut syari’at, karena berasal dari dua jenis akad yang bertentangan.Tidak dapat tergolong ijarah karena adanya ujrah yang tidak wajar, juga tidak dapat digolongkan menjadi qardh karena mengandung unsur riba.Oleh karena itu hukum Dana Talangan Haji adalah Haram.




E.    Tinjauan Mashlahat dan Madharat
Sepintas, memang sepertinya sistem talangan ini memberikan kemudahan bagi umat muslim Indonesia untuk menunaikan ibadah haji, namun apabila kita amati dengan teliti, dalam sistem talangan ini ada pembiasan atau pengkaburan makna istitha’ah (mampu) yang merupakan prinsip dalam menunaikan ibadah haji.
Pembahasan ini mencoba melihat dari sudut pandang Islam yang lebih realistis dengan melihat dampak sosilogis yang ditimbulkan. Orang yang sebetulnya belum istitha’ah(mampu) namun sudah mendapatkan kursi (seat) haji karena dana talangan, hal tersebut tidak menjamin kepastian untuk bisa berangkat, karena pada saat tahun masa pelunasan belum ada kepastian apakah dia bisa melunasi talangan hajinya ataukah tidak. Hal ini menunjukkan bahwa dana talangan haji tidak serta merta menjamin adanya kemampuan untuk menunaikan ibadah haji. Karena dalam praktik dana talangan haji mengandung unsur hutang yang menuntut pelunasan sehingga mengurangi kesempurnaan istitha’ah yang seharusnya tidak ada paksaan sama sekali sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 286:

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”
Pada kenyataannya, sistem yang bertujuan utama untuk memberikan mashlahat,justru menimbulkan kemadharatan. Dana talangan haji mampu memotivasi untuk segera melaksanakan haji, namun disisi lain juga mendorong nasabah untuk berhutang yang pada akhirnya dapat menyulitkan diri sendiri.Sangat tidak layak bagi seseorang yang belum mampu untuk berhaji memaksakan diri, karena dikhawatirkan akan terlilit hutang dan terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan seperti riba. Selain itu, iadapat menghalangi orang yang telah lebih awal dalam memenuhi syarat istitha’ah. Dalam qaidah ushuliyah disebutkan
دَرْءُاْلمَفَاسِدِمُقَدَّمٌعَلَىجَلْبِاْلمَصَالِحِ
Artinya: “Menghindari kerusakan (kerugian) lebih didahulukan dari pada mendatangkan kemaslahatan (keuntungan).”




F.    ANALISIS
Berdasarkan FATWA DSN MUI NO. 09/DSN-MUI/IV/2000 TENTANG PEMBIAYAAN IJARAH dan FATWA DSN 19/DSN-MUI/IV/2001: TENTANG AL-QARDH,penggunaan dana talangan haji oleh pihak-pihak bank sebagaimana yang sudah diterangkan dimuka diperbolehkan jika memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.Jika ternyata fakta di lapangan berbeda dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh fatwa, maka disinilah terjadi ketimpangan dan perlu pengkajian lebih lanjut.
Berdasarkan sumber data yang diperoleh, setiap bank memiliki prinsip proses pelaksanaan dana talangan haji yang berbeda-beda.Meskipun demikian, esensi pengadaan dana talangan haji oleh setiap bank adalah sama, yaitu memperoleh keuntungan dari para nasabah yang berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji.
Melalui data dari beberapa bank di atas,dapat diketahui bahwa pihak bank memperoleh keuntungan daridanatalangan haji yaitu berupa ujrah yang dibebankan pada nasabah. Diantara permasalahan yang terjadi adalah pihak bank mengatakan bahwa talangan haji menggunakan gabungan dua akad, yaitu akad qardh dan ijarah(seperti dalam BRI Syari’ah dan BSM).Penggabungan dua akad menjadi satu akad sendiri hukumnya tidak boleh.Memang sebagian ulama membolehkan, seperti Imam Ibnu Taimiyah (ulama Hanabilah) dan Imam Asyhab (ulama Malikiyah).Namun yang rajih adalah pendapat yang tidak membolehkan, yakni pendapat jumhur ulama empat mazhab, yakni ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.
Menurut ulama yang membolehkan penggabungan dua akad pun, penggabungan qardh dan ijarah termasuk akad yang tak dibolehkan.
Selain itu, jika yang digunakan adalah akad qardh(seperti pada Bank BTN Syari’ah), maka berdasarkan pengertian qardh yang telah dijelaskan diatas, pihak bank tidak boleh mengambil keuntungan sedikitpun dari nasabah. Dalam prakteknya, dana talangan haji menyalahi aturan tersebut sehingga hal ini mengindikasikan bahwa dana talangan haji hukumnya tidak diperbolehkan, sebab setiap qardh (pinjaman) yang mensyaratkan tambahan adalah riba, karena besarnya pengembalian tidak sama dengan jumlah dana yang dipinjamkan.
Jika diteliti lebih lanjut, maka akan didapati bahwa dalam praktek dana talangan haji terjadi beberapa keganjilan, yaitu biaya administrasi yang terlalu besar, perbedaan ujrah yang dibebankan pada nasabah, dan pengembalian dana talangan yang disertai dengan tambahan yang cukup banyak. Misalnya pada bank BRI Syari’ah, ujrah yang harus ditanggung oleh pihak nasabah dan wajib dibayar dalam jangka waktu 5 tahun adalah sebesar Rp.10.350.000,00, kalau dicermati secara rasional, bukankah angka ujrah yang harus dibayar itu terlalu besar? Inilah yang menjadi keganjilan yang tidak rasional.

G.    REKOMENDASI

Berdasarkan pada pemaparan diatas, maka sudah selayaknya bagi calon jama’ah haji untuk lebih berhati-hati dalam mempercayakan hajinya pada lembaga yang benar-benar berbasis syari’ah.Bagi para calon jama’ah haji yang sudah memiliki istitha’ah (kemampuan) untuk beribadah haji tanpa perlu menggunakan dana pinjaman dari bank atau pihak manapun, sebaiknya segera mendaftarkan diri melalui lembaga yang mengurusi pemberangkatan haji. Sementara bagi orang yang belum memiliki istitha’ah (kemampuan) melaksanakan haji, tidak perlu memaksakan diri dengan mengambil pinjaman dana talangan haji dari bank tertentu, karena kewajiban ibadah haji adalah bagi yang mampu. Islam adalah agama yang mudah dan tidak menyulitkan, sehingga seorang muslimyang belum memiliki kemampuan melaksanakan ibadah haji tidak perlu membebani diri, karena Allah swt tidak membebani seseorang sedikitpun kecuali pada hal-hal yang mampu ia kerjakan.





DAFTAR PUSTAKA

Mu’jam Lughatul Fatawa, (Beirut: Darun-Nafs, 1985)
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah
Taimiyah, ibnu Majmu’ al-Fatawa





Related Posts

0 comments

Post a Comment

IF YOU LIKE THIS ARTICLE, PLEASE SHARE OR LEAVE YOUR COMMENT ..