A. Unsur Hak Asasi Manusia (HAM) dan Kesetaraan Gender Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah berusia 38 tahun. Dalam rentang waktu yang sedemikian lama dan panjang, ada tuntutan persamaan hak antara hak laki-laki dan perempuan yang terus menerus diperjuangkan di Indonesia. Dalam hukum adat seorang perempuan tidak mempunyai posisi tawar menawar yang kuat. Simbol-simbol yang ada melambangkan perempuan menjadi “pelayan/mengabdi pada suami”. Agama Hindu juga menentukan syarat dan sahnya perkawinan untuk memperoleh anak. Dalam agama Budha perbedaan jender secara tegas terdapat pada ikrar isteri yang baik, setia, mengabdi pada suami dalam susah dan senang,serta taat pada petunjuk-petunjuk suami untuk menjadi ibu yang baik. Agama Kristen Protestan mengikuti hukum Negara untuk sahnya perkawinan .
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan pengertian bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir dan batin sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 tersebut merupakan perwujudan dari hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani serta hak beragama yang ketentuannya diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang tentang HAM.
Hak kebebasan pribadi pikiran dan hati nurani serta hak beragama merupakan hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun baik oleh Pemerintah atau pihak manapun yang dianggap mempunyai kekuasaan atas hal tersebut. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) merupakan suatu aturan yang saling bertentangan. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 4 dan Pasal 74 Undang-Undang tentang HAM serta ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945, maka aturan yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan merupakan salah satu pelanggaran terhadap kebebasan dasar atau hak asasi manusia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948 telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang tentang HAM dalam Pasal 75 huruf (a) yang berbunyi mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pasal 16 DUHAM mengatur mengenai hak untuk menikah yang dituangkan pada 3 ayat :
1. Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian;
2. Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan oleh kedua mempelai;
3. Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara.
Pasal 16 DUHAM tersebut memberikan aturan tegas mengenai kebebasan untuk menikah dan membentuk keluarga yang merupakan suatu hak yang dimiliki oleh setiap laki-laki dan perempuan dewasa yang salah satunya tanpa dibatasi perbedaan agama.
Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi DUHAM secara otomatis mempunyai kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam DUHAM. Selain ketentuan yang terdapat dalam DUHAM, aturan yang tertulis dalam UUD Tahun 1945 sebagai peraturan tertinggi yang berlaku di Indonesia juga wajib untuk diterapkan. Ketentuan Pasal 16 DUHAM tentang kebebasan untuk menikah sebagaimana disebutkan di atas juga tercermin dalam ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945.
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Perkawinan yang memberikan pembatasan terhadap pernikahan yang hanya diakui secara sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut. Ketentuan tersebut secara nyata memberikan pembatasan berdasarkan agama terhadap kebebasan dan hak untuk menikah terhadap laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa.
Pembatasan yang diberikan negara Indonesia terhadap hak dan kebebasan dalam pernikahan dengan sangat bertentangan ketentuan yang sudah diatur dalam DUHAM yang telah diratifikasi serta dalam UUD Tahun 1945 yang merupakan konstitusi negara Indonesia sendiri. Latar belakang pembentukan Undang-Undang tentang Perkawinan yang melibatkan berbagai unsur kepentingan, antara lain unsur Pemerintah dan unsur agama, menyebabkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya menjadi bersifat memihak terhadap golongan mayoritas.
Selain itu, meskipun UUP dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan, namun bila melihat dari substansi pasal-pasalnya, terdapat ambivalensi yang cukup mendasar dan kembali mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Di satu sisi misalnya, pasal 31 ayat 2 menjelaskan adanya kapasitas dan kemampuan yang sama antara perempuan dan laki-laki baik dalam mengelola rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Mereka juga sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum. Namun di dalam pasal 31 ayat 3 terdapat ketentuan yang mendudukkan laki-laki sebagai sentral figur keluarga, yaitu sebagai kepala rumah tangga. Selain itu mengukuhkan stereotype peran seksual perempuan sebagai pekerja domestik. Lewat UUP jugalah privilis seksual laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu, dilegitimasi dan diatur.
Melihat kenyataan ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa UUP adalah respon dari pemerintah dalam hal ini ditujukan untuk mengubah status hukum perempuan, tidak sepenuhnya benar. UUP yang dilahirkan dalam era orde baru dengan strategi pertumbuhan ekonomi itu justru membakukan domestikasi perempuan. Domestikasi ini mengarah pada penjinakan, segregasi dan upaya depolitisasi perempuan. Domestikasi juga menghasilkan kepatuhan pekerja perempuan dengan bayaran rendah (karena dianggap bukan pencari nafkah utama) untuk menunjang industri terutama industri ringan yang berorientasi eksport.
Tidak terlalu mengejutkan bahwa UUP sejauh ini terlihat masih jauh dari harapan kelompok perempuan. Kerna bila kita simak dari proses pembentukannya, UUP pada dasarnya merupakan cerminan pertarungan dari tiga kelompok kepentingan yang ada saat itu. Pertama, adalah negara/pemerintahan Orde Baru yang berkepentingan untuk menyelamatkan strategi pembangunannya (Ideologi pembangunanisme). Kedua, agama dengan kepentingan pengukuhan kekuasaan dan kewenangannya. Terakhir, perempuan, meskipun merupakan kelompok yang paling awal mengambil momentum pembahasan RUU sebagai sebuah kesempatan untuk memperjuangkan perbaikan nasib, secara perlahan-lahan tersingkir ke pinggir arena dan menyerah terhadap kepentingan pihak lain yang semakin melanggengkan struktur yang tidak adil tersebut.
Ketika berbicara kedudukan suami-istri pada pasal 79 dijelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Jika dicermati lebih jauh, pasal ini telah berhasil membakukan peran domestik rumah tangga pada perempuan. Perempuan hanya bekerja di wilayah domestik, sementara laki-laki selalu di luar. Laki-laki adalah pemimpin, sementara perempuan adalah yang dipimpin.
Padahal kenyataan di masyarakat tidak selamanya demikian. Kalau dalam pasal tersebut laki-laki ditempatkan sebagai kepala keluarga, Biro Pusat Statistik (BPS) justru mengatakan bahwa satu dari sembilan keluarga di Indonesia dikepalai oleh perempuan. Maka dari itu,UU Perkawinan no. 1 tahun 1974 kurang melihat realitas yang ada di masyarakat.
Dalam UU Perkawinan maupun KHI yang berisi bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di depan pengadilan atau pemerintah yang berwenang. Tak boleh ada perceraian yang dilakukan tanpa peradilan. Tapi kenyataan di masyarakat berbicara lain. Suami bisa saja melakukan perceraian tanpa alasan yang jelas. Sebaliknya, perempuan, tidak semudah itu bisa melakukannya. Ia harus melakukan gugatan perceraian lebih dulu. Ada istilah yang berbeda menyangkut prosedur perceraian antara suami dan isteri. Untuk laki-laki digunakan istilah permohonan bercerai, sementara bagi perempuan digunakan istilah gugatan bercerai. Kalau perempuan sudah masuk dalam kasus ini, persoalannya tentu menjadi tidak mudah.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah berusia 38 tahun. Dalam rentang waktu yang sedemikian lama dan panjang, ada tuntutan persamaan hak antara hak laki-laki dan perempuan yang terus menerus diperjuangkan di Indonesia. Dalam hukum adat seorang perempuan tidak mempunyai posisi tawar menawar yang kuat. Simbol-simbol yang ada melambangkan perempuan menjadi “pelayan/mengabdi pada suami”. Agama Hindu juga menentukan syarat dan sahnya perkawinan untuk memperoleh anak. Dalam agama Budha perbedaan jender secara tegas terdapat pada ikrar isteri yang baik, setia, mengabdi pada suami dalam susah dan senang,serta taat pada petunjuk-petunjuk suami untuk menjadi ibu yang baik. Agama Kristen Protestan mengikuti hukum Negara untuk sahnya perkawinan .
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan pengertian bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir dan batin sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 tersebut merupakan perwujudan dari hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani serta hak beragama yang ketentuannya diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang tentang HAM.
Hak kebebasan pribadi pikiran dan hati nurani serta hak beragama merupakan hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun baik oleh Pemerintah atau pihak manapun yang dianggap mempunyai kekuasaan atas hal tersebut. Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan, dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.
Ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) merupakan suatu aturan yang saling bertentangan. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 4 dan Pasal 74 Undang-Undang tentang HAM serta ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945, maka aturan yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Perkawinan merupakan salah satu pelanggaran terhadap kebebasan dasar atau hak asasi manusia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948 telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang tentang HAM dalam Pasal 75 huruf (a) yang berbunyi mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pasal 16 DUHAM mengatur mengenai hak untuk menikah yang dituangkan pada 3 ayat :
1. Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian;
2. Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan oleh kedua mempelai;
3. Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara.
Pasal 16 DUHAM tersebut memberikan aturan tegas mengenai kebebasan untuk menikah dan membentuk keluarga yang merupakan suatu hak yang dimiliki oleh setiap laki-laki dan perempuan dewasa yang salah satunya tanpa dibatasi perbedaan agama.
Indonesia sebagai salah satu negara yang meratifikasi DUHAM secara otomatis mempunyai kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam DUHAM. Selain ketentuan yang terdapat dalam DUHAM, aturan yang tertulis dalam UUD Tahun 1945 sebagai peraturan tertinggi yang berlaku di Indonesia juga wajib untuk diterapkan. Ketentuan Pasal 16 DUHAM tentang kebebasan untuk menikah sebagaimana disebutkan di atas juga tercermin dalam ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945.
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Perkawinan yang memberikan pembatasan terhadap pernikahan yang hanya diakui secara sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut. Ketentuan tersebut secara nyata memberikan pembatasan berdasarkan agama terhadap kebebasan dan hak untuk menikah terhadap laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa.
Pembatasan yang diberikan negara Indonesia terhadap hak dan kebebasan dalam pernikahan dengan sangat bertentangan ketentuan yang sudah diatur dalam DUHAM yang telah diratifikasi serta dalam UUD Tahun 1945 yang merupakan konstitusi negara Indonesia sendiri. Latar belakang pembentukan Undang-Undang tentang Perkawinan yang melibatkan berbagai unsur kepentingan, antara lain unsur Pemerintah dan unsur agama, menyebabkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya menjadi bersifat memihak terhadap golongan mayoritas.
Selain itu, meskipun UUP dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan, namun bila melihat dari substansi pasal-pasalnya, terdapat ambivalensi yang cukup mendasar dan kembali mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Di satu sisi misalnya, pasal 31 ayat 2 menjelaskan adanya kapasitas dan kemampuan yang sama antara perempuan dan laki-laki baik dalam mengelola rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Mereka juga sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum. Namun di dalam pasal 31 ayat 3 terdapat ketentuan yang mendudukkan laki-laki sebagai sentral figur keluarga, yaitu sebagai kepala rumah tangga. Selain itu mengukuhkan stereotype peran seksual perempuan sebagai pekerja domestik. Lewat UUP jugalah privilis seksual laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu, dilegitimasi dan diatur.
Melihat kenyataan ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa UUP adalah respon dari pemerintah dalam hal ini ditujukan untuk mengubah status hukum perempuan, tidak sepenuhnya benar. UUP yang dilahirkan dalam era orde baru dengan strategi pertumbuhan ekonomi itu justru membakukan domestikasi perempuan. Domestikasi ini mengarah pada penjinakan, segregasi dan upaya depolitisasi perempuan. Domestikasi juga menghasilkan kepatuhan pekerja perempuan dengan bayaran rendah (karena dianggap bukan pencari nafkah utama) untuk menunjang industri terutama industri ringan yang berorientasi eksport.
Tidak terlalu mengejutkan bahwa UUP sejauh ini terlihat masih jauh dari harapan kelompok perempuan. Kerna bila kita simak dari proses pembentukannya, UUP pada dasarnya merupakan cerminan pertarungan dari tiga kelompok kepentingan yang ada saat itu. Pertama, adalah negara/pemerintahan Orde Baru yang berkepentingan untuk menyelamatkan strategi pembangunannya (Ideologi pembangunanisme). Kedua, agama dengan kepentingan pengukuhan kekuasaan dan kewenangannya. Terakhir, perempuan, meskipun merupakan kelompok yang paling awal mengambil momentum pembahasan RUU sebagai sebuah kesempatan untuk memperjuangkan perbaikan nasib, secara perlahan-lahan tersingkir ke pinggir arena dan menyerah terhadap kepentingan pihak lain yang semakin melanggengkan struktur yang tidak adil tersebut.
Ketika berbicara kedudukan suami-istri pada pasal 79 dijelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Jika dicermati lebih jauh, pasal ini telah berhasil membakukan peran domestik rumah tangga pada perempuan. Perempuan hanya bekerja di wilayah domestik, sementara laki-laki selalu di luar. Laki-laki adalah pemimpin, sementara perempuan adalah yang dipimpin.
Padahal kenyataan di masyarakat tidak selamanya demikian. Kalau dalam pasal tersebut laki-laki ditempatkan sebagai kepala keluarga, Biro Pusat Statistik (BPS) justru mengatakan bahwa satu dari sembilan keluarga di Indonesia dikepalai oleh perempuan. Maka dari itu,UU Perkawinan no. 1 tahun 1974 kurang melihat realitas yang ada di masyarakat.
Dalam UU Perkawinan maupun KHI yang berisi bahwa perceraian hanya bisa dilakukan di depan pengadilan atau pemerintah yang berwenang. Tak boleh ada perceraian yang dilakukan tanpa peradilan. Tapi kenyataan di masyarakat berbicara lain. Suami bisa saja melakukan perceraian tanpa alasan yang jelas. Sebaliknya, perempuan, tidak semudah itu bisa melakukannya. Ia harus melakukan gugatan perceraian lebih dulu. Ada istilah yang berbeda menyangkut prosedur perceraian antara suami dan isteri. Untuk laki-laki digunakan istilah permohonan bercerai, sementara bagi perempuan digunakan istilah gugatan bercerai. Kalau perempuan sudah masuk dalam kasus ini, persoalannya tentu menjadi tidak mudah.
0 comments
Post a Comment
IF YOU LIKE THIS ARTICLE, PLEASE SHARE OR LEAVE YOUR COMMENT ..