2012-02-21

MAKALAH NORMA HUKUM

NORMA HUKUM

MAKALAH

Diajukan guna memenuhi tugas  dalam mata kuliah Ilmu Perundang-undangan

di susun oleh :

1.      Muhammad Ihsan             (10370006)

JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALI JAGA

YOGYAKARTA

2011




DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................

A.    Perihal Norma Hukum......................................................................................

B.     Statika dan Dinamika Sistem Norma................................................................

C.     Perbedaan Norma Hukum dan Norma Lainnya................................................

D.    Norma Hukum Umum-Individual dan Norma hukum Abstrak-Konkreet.......

E.     Norma Hukum Tunggal dan Norma Hukum Berpasangan...............................

F.      Norma Hukum Dalam Peraturan Perundang undangan....................................

G.    Daya Laku dan Daya Guna...............................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................... .......................................................



BAB I

PENDAHULUAN

Telah diketahui bahwa disamping norma/kaedah kepercayaan atau keagamaan, norma kesusilaan dan norma sopan santun masih diperlukan norma hokum. norma hokum ini melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga kaedah lainnya dan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaedah tadi.

Norma hokum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkrit yaitu dipelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakatagar masyarakat tertib, agar jangan sampai jatuh korban kejahatan, agar terjadi kejahatan.

Isi kaedah hokum itu ditujukan kepada sikap lahir manusia. Kaedah hukum mengutamakan perbuatan lahir. Pada hakekatnya apa yang dibatin, apa yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal, asal lahirnya ia tidak melanggar hukum. Apakah seseorang dalam mematuhi peraturan lalu lintas (misalnya : berhenti ketika lampu lalu lintas menyalah merah) sambil menggerutu ia tergesa-gesa ia mau pergi kuliah, tidaklah penting bagi hukum, yang penting ialah bahwa lahirnya apa yang tampak dari luar ia patuh pada peraturan lalu lintas.

Kaidah hukum berasal dari luar manusia. Kaidah hukum berasal dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan kepada kita (heteronom), masyarakatlah secara resmi diberi kuasa untuk memberi sanksi / menjatuhkan hukuman



BAB II

PEMBAHASAN

A.    Perihal Norma Hukum

                        Norma atau kaidah merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tataaturan yang berisi kebolehan, anjuran dan perintah.

            Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Dalam perkembangannya norma diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seorang untuk bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat, jadi inti suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.

            Dalam bukunyab “Perihal Kaidah Hukum”, Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka mengemukakan bahwa, kaedah adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman unruk berperilaku atau bersikap tindak dalam hidup. Apabila ditinjau dari hakikatnya, maka kaedah merupakn perumusan suatu pandangan (oordel) mengenai perikelakuan atu sikap tindak.

            Apabila ditinjaau dari segi etimologinya, kata norma itu sendiri berasal dari bahasa latin, sedangkan kaedah berasal dari bahasa arab. Norma berasal dari kata nomos yang berti nilai kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Sedangkan kaidah dalam bahsa arab qo’idah berarti ukuran atau nilai pengukur. Jika pengertian norma atau kaedah sebagai pelembagaan itu dirinci, kaedah atau norma yang dimaksud dapat berisi:



·         kenbolehan atau yang dalam bahasa arab disebut ibahah, mubah.

·         Anjuran positif untuk melakukan sesuatu atau dalam bahasa arab disebut sunnah.

·         Anjuran negatif untuk tidak mengerjakan sesuatu atau dalam bahsa arab disebut makruh.

·         Perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban (obligattere)

·         Perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu.

                        Dalam teori yang dikenal dalam dunia barat, norma-norma tersebut biasanya hanya digambarkan atas tiga macam saja yaitu, obligattere, prohibere, permittere. Akan tetapi di Indonesia dengan meminjam teori hukum fiqih, menurut Profesor Hazairin[1], norma terdiri atas lima macam, yaitu:

a.       Halal atau mubah (permittere)

b.      Sunah

c.       Makruh

d.      Wajib (obligattere)

e.       Haram (prohibere)


                        Dalam sistem ajaran islam, kelima kaedah tersebut sama-sama disebut sebagai norma agama. Akan tetapi jika diklasifikasikan, ketiga sistem norma agama (dalam arti sempit) sistem norma hukum dan sistem norma etika (kesusilaan) dapat saja dibedakan satu sama lain. Norma etika dapat dikatakan hanya menyangkut kaidah mubah  (permittere), sunnah dan makruh saja, sedangkan norma hukum berkaitan dengan kaedah mubah (permittere, mogen) kewajiban atau suruhan (obligattere, gebot) dan larangan (prohibere, verbod).

                        Kaidah kesusilaan yang dipahami sebagai etika dalam arti sempit hanya dapat dimengerti  sebagai kaedah yang timbul dalam kegidupan peribadi (internal life)[2]. Karena itu, kaedah semacam itu disebut juga dengan kesusilaan peribadi.

            Norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat, agama, dan lainnya, terjadi secaratidak tertulis tetapi tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat.

                        Kaidah atau norma hukum mempunyai sumber legitimasi dan sumber kekuatan mengikat pada adanya norma hukum yang lebih tinggi, yang dijabarkan dalam kaidah hukum yang lebih rendah, yang dilakukan oleh badan yang memiliki kewenangan dan kekuasaan yang berhak memaksakan akibat atau sanksi terhadap suatu pelanggaran norma hukum, diluar kehendak orang itu. Dengan demikian terdapat alat-alat kekuasaan untuk memaksakan ketaatan terhadap norma hukum. Dari sudut asal-usul, sesuai dengan pendirian aliran positivisme, maka kaidah hukum tersebut merupakan kehendak pemegang kekuasaan, yang dituangkan dalam bentuk perundang-undangan. Tindakan kemauan atau kehendak yang dirumuskan menjadi norma, agar menjadi sah keberadaannya mensyaratkan adanya satu badan yang mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk itu, sebagaimana sering dikatakan bahwa “tiada imperatif tanpa seorang (suatu) imperator, tiada komando tanpa seorang komandan[3]. Akan tetapi kaidah atau norma hukum adat dan kebiasaan, sebagaimana menjadi kenyataan pengalaman kita sendiri merupakan norma yang sangat berbeda dilihat dari segi asal-usul kelahirannya. Ia lahir dan berkembang dalam pergaulan hidup kemasyarakatan sendiri, yang berwujud dalam keputusan-keputusan primus inter-pares dalam penyelesaian sengketa yang dihadapkan kepadanya. Hukum itu tidak dibuat secara artifisial melainkan di temukan dalam relung jiwa rakyatnya[4].


B.     Statika dan Dinamika Sistem Norma

            Hans Kelsen mengemukakan adanya dua sitem norma, yaitu sistem noram yang statik (nomostatics) dan sistem norma yang dinamik (nomodynamics).

            Sistem norma yang statik adalah sistem yang melihat ‘isi’ norma. Menurut sistem norma yang statik, suatu norma hukum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus. Sistem norma yang dinamik adalah sitem norma yang dilihat dari berlakunya suatu norma.


C.    Perbedaan Norma Hukum dan Norma Lainnya

Diantara perbedaanya adalah sebagai berikut:

·         Suatu norma hukum itu bersifat heteronom, dalam arti bahwa norma hukum itu datangnya dari luar diri seseorang. Sedangkan norma hukum lainnya bersifat otonom, dalam arti norma itu datangnya dari dalam diri seseorang.

·         Norma hukum dapat didekati dengan sanksi pidana maupun sanksi secara fisik, sedangkan norma lainnya tidak dapat didekati oleh sanksi pidana maupun pemaksa secara fisik.

·         Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksankan oleh parat negara misalnya polisi, jaksa, hakim, sedangkan terhadap pelanggaran norma-norma lainnya sanksi itu datangnya dari diri sendiri, misalnya ada perasaan bersalah, perasaan berdosa.


D.    Norma Hukum Umum-Individual dan Norma hukum Abstrak-Konkreet

1.      Norma Hukum Umum dan Individual

            Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak (addressatnya) umum dan tidak tertentu. Umum disini dapat berarti suatu bahwa peraturan itu ditujukan untuk semua orang. Norma hukum ini sering dirumuskan dengan, barang siapa, setiap orang, setiap warga negara, dll.

            Norma hukum individual adalah suatu norma hukum yang ditujukan pada seseorang, beberapa orang atau banyak orang yang telah tertentu, sehingga norma hukum yang individual dapat dirumuskan sebagai berikut: Para pengemudi bis kota Mayasari Bakti jurusan Blok M – Rawamangun yang beroperasi pada jam 7.00 sampai jam 8.00 pagi pada tanggal 1 Oktober 2006 ... dst


2.      Norma Hukum Abstrak dan Norma Hukum Konkret

                        Norma hukum abstrak adalah norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti tidak konkret. Norma hukum abstrak ini merumuskan suatu perbuatan itu secara abstrak. Norma hukum konkret adalah suatu norma hukum yang melihat perbuatan seseorang itu lebih nyata (konkret).

                        Dari sifat-sifat norma hukum umum-individual dan norma hukum yang abstrak-konkret, terdapat empat paduan kombinsai dari norma-norma tersebut, yaitu:

·         Norma hukum umum-abstrak

·         Norma hukum umum-konkret

·         Norma hukum individula-abstrak

·         Norma hukum individula konkret


a.       Norma hukum umum-abstrak

Adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum dan perbuatannya masih bersifat abstrak. Dapat dirumuskan sebgai berikut:

·         Setiap warga negara dilarang mencuri

·         Setiap orang dilarang membunuh sesemanya


b.      Norma hukum umum-konkret

Adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk umum dan perbuatannya sudah tertentu. Dapat dirumuskan sebagai berikut:

·         Setiap orang dilarang membunuh si Badu dengan parang


c.       Norma hukum individul-abstrak

Adalah norma hukum yang ditujukan untuk seseorang atau orang tertentu dan perbuatannya bersifat abstra (belum konkret). Dirumuskan sebagai berikut:

·         Si Badu yang bertempat tinggal di Jl. Flamboyan No. 21 Jakarta dilarang mencuri


d.      Norma hukum individul-konkret

Adalah norma hukum yang ditujukan untuk seseorang atau orang tertentu dan perbuatannya bersifat konkret. Dirumuskan sebagai berikut:

·         Si Badu, umur 20 tahun dilarang merokok di kantor tempat ia bekerja.


E.     Norma Hukum Tunggal dan Norma Hukum Berpasangan

1.      Norma hukum tunggal

Norma hukum tunggal adalah suatu norma hukum berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, jadi isinya hanya merupakan suatu suruhan tentang bagaimana seseorang hendaknya bertindak atau bertingkah laku. Contoh perumusannya: hendaknya engkau berperikemanusian.

2.      Norma hukum berpasangan

Adalah norma hukum yang terdiri atas dua norma hukum, yaitu norma hukum sekunder naorma hukum primer.

a.     Norma hukum primer

     Adalah norma hukum yang berisi aturan/patokan bagaimana seseorang harus berperilaku dalam masyarakat. Biasanya dirumuskan: hendaknya engkau tidak mencuri, hendaknya engkau tidak menganiaya orang lain.

b.     Norma hukum sekunder

     Adalah suatu norma hukum yang berisi tata cara penanggulangannya apabila norma hukum primer itu tidak terpenuhi atau dipatuhi. Norma hukum sekunder ini mengandung sanksi bagi seseorang yang tidak mematuhi suatu ketentuan dalam norma hukum primer. Biasanya dirumuskan dalam kalimat, hendaknya engkau yang mencuri dihukum, hendaknya engkau yang menganiaya orang lain dihukum paling lama 10 tahun penjara.

F.     Norma Hukum Dalam Peraturan Perundang undangan

Menurut D.W.P Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental, yang di maksud peraturan perundang undangan mengandung tiga unsur:

1.      Norma hukum(rechtsnorm)

Sifat norma hukum dalam peraturan perundang undangan dapat berupa:

·         Peeintah ( gebod)

·         Larangan (verbod)

·         Pengizinan (toestemming)

·         Pembebasan (vrijstelling)

2.      Berlaku ke luar (naar buiten warken)

Ruiter berpendapat bahwa, di dalam peraturan perundanga undangan terdapat tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak termasuk dalam organisasi pemerintahan. Norma yang mengatur hubungan antar bagian-bagian organisasi pemerintahan dianggab bukan norma ysng sebenarnya, dan hanya di anggab norma organisasi. Oleh karena itu, norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut “berlaku ke luar”

3.      Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruimezin)

Dalam hal ini terdapat pembedaan antara norma yang umum  dan yang individual, hal ini dilihat dari alamat yang dituju, yaitu ditujukan kepada siapa “setiap orang” atau kepada “orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak dan konkret jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang tidak tertentu atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu.

Menurut Ruiter, sebuah norma, (termasuk norma hukum) mengandung unsur-unsur berikut:

a.       Cara keharusan berperilaku (modus van behoren)

b.      Seorang atau sekelompok orang (normadressat) disebut subyek norma.

c.       Perilaku yang dirumuskan (normgedrag) disebut obyek norma

d.      Syarat-syaratnya (normcondities) disebut kondisi norma.



G.    Daya Laku dan Daya Guna

            Suatu norma itu berlaku karen ia mempunya “daya laku” (validitas) atau ia mempunyai keabsahan (validity/geltung). Daya laku ini ada apabila norma itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau oleh lembaga yang berwenang membentuknya.

            Dalam pelaksanaan suatu norma karena adanya daya laku, dihadapkan pula pada daya guna (efficacy) dari norma tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat apakah suatu norma yang ada dan berdaya laku itu berdaya guna secara efektif atau tidak. Dalam hal ini dapat pula terjadi bahwa, suatu ketentuan dalam sebuah perundang-undangan tidak berdaya guna lagi walaupun peraturan tersebut masih berdaya laku (karena belum dicabut). Hal ini dapat terjadi apabila dalam suatu peraturan perundang-undangan merumuskan ketentuan yang bertujuan untuk menggantikan rumusan dalam perturan prtundang-undangan yang lain, tetapi tidak dengan melakukan pencebutan terhadap ketentuan yang diubah tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Hazairin, Hukum Islam dan Masyarakat cetakan 3 Jakarta: Bulan Bintang, 1963.

Purnadi Purbacaraka dan soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, ( Bandung: Alumni 1982).

Farida Maria Indrawati, Ilmu Perundang-undangan jilid I: Kanisius, Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno. 1989. Mengenal Hukum Suatu pengantar. Yogyakarta : Liberty.

[1] Hazairin, Hukum Islam dan Masyarakat cetakan 3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1963.)

[2] Purnadi Purbacaraka dan soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, ( Bandung: Alumni 1982), hal 26.

[3] Hans Kelsen, op.cit hal. 6

[4] Bernard L. Tanya SH.MH, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, Cv.

Kita, Surabaya, 2006, hal 86




Related Posts

0 comments

Post a Comment

IF YOU LIKE THIS ARTICLE, PLEASE SHARE OR LEAVE YOUR COMMENT ..