Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Control (Pengendalian Sosial)
Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat.
Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan. Pengendalian sosial mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya.
Pengendalian Sosial (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan social control tersebut mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi, maupun konsiliasi. Standar atau patokan dari pemidanaan adalah suatu larangan, yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan (sanksi negatif) bagi pelanggarnya. Dalam hal ini, bila kepentingan-kepentingan dari suatu kelompok dilanggar, inisiatif datang dari seluruh warga kelompok (yang mungkin dikuasakan kepada pihak tertentu).
Pada kompensasi, standar atau patokannya adalah kewajiban, di mana inisiatif untuk memprosesnya ada pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan akan meminta ganti rugi, oleh karena pihak lawan melakukan wanprestasi. Di sini ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang, seperti halnya dengan pemidanaan yang sifatnya akusator.
Berbeda dengan kedua hal di atas, terapi maupun konsiliasi sifatnya “remedial”, artinya mengembalikan situasi (interaksi sosial) pada keadaan yang semula. Oleh karena itu, yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang menang, melainkan yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi, standarnya adalah normalitas, keserasian, dan kesepadanan yang biasa disebut keharmonisan.
Setiap kelompok masyarakat selalu memiliki problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standar dan yang praktis, antara yang seharusnya atau yang diharapkan untuk dilakukan dan apa yang dalam kenyataan dilakukan. Standar dan nilai-nilai kelompok dalam masyarakat mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku individu. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat disebut sebagai contoh: pencurian, perzinaan, ketidakmampuan membayar utang, melukai orang lain, pembunuhan, mencemarkan nama baik orang yang baik-baik, dan semacamnya. Semua contoh itu merupakan bentuk-bentuk tingkah laku menyimpang yang menimbulkan persoalan di masyarakat, baik masyarakat yang sederhana maupun masyarakat modern. Di dalam situasi yang demikian itu, kelompok itu berhadapan dengan problem untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan mempertahankan eksistensinya .
Fungsi hukum dalam kelompok di maksud di atas adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu. Anggota kelompok akan berhasil mengatasi tuntutan-tuntutan yang menuju ke arah penyimpangan, guna menjamin agar kelompok dimaksud tetap utuh, atau kemungkinan lain hukum gagal dalam melaksanakan tugasnya sehingga kelompok itu hancur, atau cerai-berai atau punah. Karena itu, hukum tampak mempunyai fungsi rangkap. Di satu pihak dapat merupakan tindakan yang mungkin menjadi demikian melembaga, yaitu menjadi mantap di antara anggota-anggota kelompok masyarakat sehingga hukum mudah dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok, dan kelompok itu menganggap tindakan itu sebagai suatu kewajiban. Di lain pihak mungkin merupakan tindakan yang berwujud reaksi kelompok itu terhadap tingkah laku yang menyimpang, dan yang diadakan untuk mengendalikan tingkah laku yang menyimpang itu. Hukum dalam pengertian yang disebutkan terakhir ini terdiri dari pola-pola tingkah laku yang dimanfaatkan oleh kelompok untuk mengembalikan tindakan-tindakan yang jelas mengganggu usaha-usaha untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok. Hukum dalam fungsinya yang demikian itu, merupakan instrumen pengendalian sosial.
Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Engineering
Hukum dapat bersifat sosial engineering : merupakan fungsi hukum dalam pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk dalam masyarakat yang sedang mengalami pergolakan dan pembangunan. Mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum.
Hal ini dimaksudkan dalam rangka memperkenalkan lembaga-lembaga hukum modern untuk mengubah alam pikiran masyarakat yang selama ini tidak mengenalnya, sebagai konsekuensi Negara sedang membangun, yang kaitannya menuju modernisasi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional/modern.
Munculnya pemikiran hukum baru di abad modern ini boleh disebut sebagai reaksi terhadap padangan hukum tradisional atau terhadap aliran mazhab sejarah yang dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi masyarakat modern.
Gerakan kodifikasi pada zaman baru sebagai akibat dari tampilnya unsure logika manusia, ternyata kemudian melahirkan masalah yang berkaitan dengan soal keadilan. Hal ini disebabkan oleh tertinggalanya kodifikasi itu oleh perkembangan masyarakat. Kepincangan-kepincangan dalam kodifikasi seringkali tampil disebabkan oleh tidak sesuainya lagi dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Keadaan ini mendorong orang untuk mencari keadilan melalui filsafat hukum.
Ciri lain dari pemikiran hukum abad modern ialah timbulnya pemikiran-pemikiran hukum yang berasal dari ahli hukum yang memiliki reputasi istimewa. Keadaan sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya, ketika filsafat hukum merupakan produk dari ahli filsafat.
Satu dari beberapa pemikiran hukum abad modern itu adalah apa yang dinamakan dengan social engineering yang dikembangkan oleh Rescoe Pound. Menurut pandangan hukum modern ini, hukum berfungsi sebagai alat perekayasaan masyarakat. Dimana, betapa jauh lebih pentingnya kekuatan-kekuatan sosial yang membentuk dari pernyataan-pernyataan legal teknis dalam membentuk hukum. Selain mengatur ketertiban masyarakat, kaidah-kaidah hukum harus membuka jalan dan saluran baru dalam system kehidupan agar tidak terjadi kepincangan-kepincangan dalam masyarakat serta ketidak adilan.
Pada masyarakat modern (terutama pada masyarakat yang membangun dengan system berencana) hukum harus berorientasi ke masa depan, bukan sebaliknya. Konsepsi hukum sebagai alat social engineering adalah suatu konsepsi hukum yang member kemungkinan untuk itu. Sebab tugas hukum menurut paham ini adalah untuk mempersiapkan norma-norma baru yang akan harus berlaku bagi dan dalam keadaan yang mengubah kemungkinan antar manusia yang lama menjadi manusia yang baru. Dalam menentukan norma-norma baru itu hukum senantiasa harus mengusahakan cara dan penyelesaian masalah yang seadil-adilnya terutama bagi pihak yang lemah.
Apa yang dikemukakan di atas hanyalah satu aspek dari pengejewantahan konsepsi hukum sebagai social engineering. Yang terpenting bagi kita untuk kesempatan ini adalah ide dasar dari pemikiran hukum itu sebagai social engineering dan bagaimana hukum dalam tugasnya menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat sosial yang terus berubah dan kebutuhannya juga semakin kompleks.
Dalam suatu formula yang sekarang menjadi klasik, Rescoe Pound melukiskan bahwa tugas pokok pemikiran modern mengenai hukum adalah “rekayasa sosial”. Dalam banyak karangan Pound berusaha untuk memudahkan dan menguatkan tugas rekayasa sosial ini dengan merumuskan dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial, yang keseimbangan menyebabkan hukum berkembang. Pound menggolongkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam tiga golongan; Pertama, kepentingan-kepentingan umum; Kedua, kepentingan –kepentingan sosial dan; Ketiga, kepentingan-kepentingan induvidu.
Bagi Friedman, nilai dari pengelompokan serupa itu dari Pound dan berserta pengelompokan yang dikembangkan pengikut-pengikut Pound adalah; Pertama, pengelompokan itu melanjutkan pemikiran yang dimulai Jhering dan Bentham, yakni pendekatan hukum sebagai sarana menuju tujuan sosial dan alat dalam perhubungan sosial; Kedua, pengelompokan semacam itu sangat membantu untuk memperjelas dalil-dalil yang tidak jelas, untuk menjadikan pembuat undang-undang dan praktisi hukum yang menyadari prinsip-prinsip dan nilai-nilai dalam tiap soal khusus. Jadi bantuan penting dalam menggabungkan prinsip dan praktek.
Dengan demikian jelas, bahwa konsepsi hukum sebagai social engineering tampak berusaha untuk mendefenisikan nilai-nilai hukum yang terpenting dari masyarakat “beradab”. Tetapi disadari pula sebagaimana juga Pound, bahwa ada bahaya dalam penilaian yang lengkap tentang pengelompokan-pengelompokan sebagai kepentingan induvidu, umum dan sosial, Kepentingan induvidu dan sosial itu sendiri merupakan persoalan konsepsi-konsepsi politik yang berubah-ubah. Banyak kepentingan masuk kategori berbeda-beda. Tetapi jika diamati secara menyeluruh yang lebih penting dari pemikiran hukum baru ini, bukanlah pada dalil-dalil hukum masyarakat yang dikemukakan Pound. Melainkan adalah ide dasar dari pemikiran hukum itu sebagai social engineering. Tidak terlalu penting mempertentangkan dalil-dalil hukum (hukum perdata) yang dikemukakan Pound dengan penggolangan kepentingan-kepentingan yang diajukannya. Karena ternyata dalam perkembangan hukum dewasa ini menunjukan adanya unsure saling memasuki antara hukum perdata dan hukum public dan terlihat batas yang kabur antara keduanya.
Sebagaimana dikemukakan Friedman, bahwa yang jelas Pound telah berusaha untuk mendefenisikan hukum yang terpenting dari masyarakat beradab, karena pengertian beradab itu mengandung unsure penilaian pribadi, maka jelaslah bahwa nilai-nilai masyarakat beradab bukan dalil-dalil mutlak yang tidak tergantung dari waktu dan pengalaman sosial, tetapi dalil-dalil masyarakat beradab “ di zaman dan waktu kita”.
Bila dipahami ide dasar dari pemikiran hukum sebagai social engineering, barangkali tidak akan ditemui kesulitan jika perumusan lebih lanjut didasari oleh suatu pedoman yang universal dan memuat norma yang universal pula. Artinya dalil-dalil hukum masyarakat sosial yang hendak dirumuskan tidak bertolak dari penilaian pribadi. Dengan adanya suatu pedoman yang telah menjadi paham umum, maka perumusan konsepsi hukum sebagai social engineering akan menjadi suatu kekuatan yang besar dalam pembangunan hukum suatu masyarakat bangsa dengan perubahan dan kebutuhannya.
Selanjutnya, suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan selalu berada dibawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk memperngaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu , dinamakan social engineering atau social planning. Setidaknya dengan pemahaman kita terhadap apa yang dinamakan social engineering akan mengantarkan kita pada pemahaman yang lebih baik terhadap konsepsi hukum sebagai social engineering.
Rescoe Pound di dalam merumuskan teori kepentingannya, ia memandang hukum yang mencerminkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang teratur baik. Dalam kenyataannya, hukum adalah bentuk “enjinering sosial” dalam masyarakat beradab. Pound mengemukakan;
“Tujuan memahami hukum dewasa ini adalah untuk memikirkan hukum sebagai suatu institusi sosial yang dapat memenuhi keinginan sosial – dengan memberikan pengaruh sebanyak mungkin dan dengan pengorbanan yang sedikit-dikitnya sepanjang keinginan semacam itu dapat terpenuhi atau tuntutan semacam itu terpengaruhi oleh ketertiban tingkah laku manusia melalui masyarakat yang terorganisasi secara politis. Untuk tujuan sekarang ini saya merasa puas melihat dalam sejarah hukum tentang catatan suatu pengakuan dan pemenuhan yang terus menerus lebih luas dari kebutuhan atau tuntutan atau keinginan manusia melalui control sosial. Suatu pemantapan yang lebih efektif dari kepentingan sosial; suatu peniadaan pemborosan serta penghindaran perselisihan dalam kenikmatan manusia akan kebaikan eksistensi –dengan pendek kata—suatu enjinering sosial yang terus menerima lebih besar dayanya.
Dengan mencermati beberapa hal mengenai fungsi hukum sebagai social engineering itu, maka jelaslah bahwa pemikiran hukum sebagai social engineering yang diinginkan adalah bagaimana hukum tidak lagi berjalan dibelakang mengikuti dan membunti perkembangan masyarakat, tetapi berjalan di depan dan memimpin perkembangan masyarakat serta perubahan sosial. Artinya, dengan meletakan fungsi hukum sebagai social engineering, maka hukumlah yang membentuk kebiasaan dalam masyarakat.
Konsep Hukum Keluarga Islam Bersifat Bilateral
Yakin bahwa keluarga dan masyarakat yang hendak dibangun Nabi Muhammad dengan risalahnya adalah masyarakat bilateral atau parental, maka usaha ke arah ini seharusnya diusahakan maksimal. Sadar bahwa masalah-masalah yang berkaitan dengan Hukum Keluarga termasuk kelompok nash yang dekonstruksinya dilakukan secara berangsur-angsur sejak masa nabi sampai waktunya tepat dan kondusif, maka sekarang sudah waktunya menerapkan apa yang dicita-citakan nabi dan belum terbangun oleh muslim sepanjang sejarah, lebih khusus muslim Indonesia. Artinya, mayoritas konsep dan praktek muslim di bidang Hukum Keluarga, baik konsep konvensional dalam bentuk kitab fikih maupun konsep Perundang-undangan Kontemporer berupa Perundang-undangan, masih bersifat diskriminatif, patriarkal, belum bersifat kesetaraan dan bilateral/parental. Bahasan berikut adalah tawaran konsep bilateral Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan negara-negara Muslim, khususnya di Asia Tenggara.
Untuk memperlihatkan konsep yang bersifat bilateral, lebih dahulu dikemukakan konsep yang patriarkal dan diskriminatif. Dengan kupasan demikian diharapkan lebih memudahkan untuk menemukan nilai bilateral atau parentalnya. Berikut adalah gambaran konsep Hukum Keluarga Islam yang masih bersifat patriarkal, baik yang ada dalam kitab-kitab Fiqh Konvensional maupun Perundang-Undangan Perkawinan keluarga) Indonesia, khususnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk memudahkan, uraian dibuat dalam bentuk urutan nomor sebagai berikut:
1. konsep akad nikah (ijab dan kabul) dalam pasal 1 ayat (4).
ijab dari wali, sementara kabul dari suami.
2. konsep wali nikah dalam pasal 13 dihubungkan dengan pasal 18 ayat (2) dan pasal 19.
hak wali nikah hanya dimiliki yang berjenis kelamin laki-laki
3. saksi nikah dalam pasal 22.
saksi nikah harus laki-laki, sementara perempuan tidak mungkin menjadi saksi nikah
4. konsep mahar dalam pasal 1 ayat (7), 26 & 29.
seolah suami membeli isteri. Ini memberikan dampak negatif dalam hubungan suami dan isteri.
5. poligami dalam pasal 46 s/d 50.
tidak sejalan dengan prinsip perkawinan yang monogami, dan (2) praktek poligami menyakitkan perempuan.
6. kedudukan (status) suami dan isteri dalam psl 70 ayat (1).
suami sebagai kepala keluarga, sebagai pananggung jawab dan penjaga harta bersama, sementara isteri kepala rumah tangga
7. kewajiban suami dalam pasal 71.
(1) sebagai pembimbing, (2) sebagai pelindung, (3) sebagai pendidik, dan (4) sebagai penanggung nafkah
8. kewajiban isteri dalam pasal 74.
(1) berbakti lahir batin, dan (2) pengatur rumah tangga
9. nusyuz dalam psl 75 ayat (1 sd 4).
hanya berlaku bagi perempuan (isteri)
10. talak dalam banyak pasal.
talak adalah hak mutlak suami, meskipun ada hak khuluk isteri tetapi untuk terjadinya khuluk tetap tergantung pada persetujuan suami
11. masalah ruju‘ dalam pasal 122, 130 dan 131.
menjadi masalah, sebab meskipun ada hak isteri, ttp hanya hak keberatan bagi isteri.
12. Masa menunggu (‘idda) dalam psl 124.
hanya berlaku bagi mantan isteri
13. hadanah dalam psl 126.
diprioritaskan kepada perempuan (isteri)
Demikianlah gambaran umum konsep fiqh konvensional dan Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia. Dari gambaran tersebut jelas memposisikan dan mengutamakan laki-laki (suami) dan mendiskreditkan serta mendiskriminasikan kaum perempuan, yang berarti masih bersifat patriarkal. Konsep ini jelas tidak sejalan dengan misi pokok Islam yang hendak membangun kekeluargaan dan masyarakat (sosial) yang bilateral atau parental. Maka tawaran konsep Hukum Keluarga Islam yang kelak
diberlakukan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. konsep akad nikah (ijab dan kabul)
ijab dari calon mempelai perempuan dan kabul dari calon suami. Walaupun misalnya melibatkan wali atau orang-orang yang dekat dengan calon mempelai hanya bersifat sekunder sebagai bahan pertimbangan karena mereka sudah mempunyai pengalaman, bukan penentu yang bersifat mutlak.
2. konsep wali nikah
sejalan dengan konsep hak wali nikah dan hak orang-orang yang dekat dengan calon mempelai tersebut di atas, maka hak ini dimiliki oleh semua keluarga, dan unsur yang menjadi pertimbangan pokok adalah kedekatan dengan dan pemahaman terhadap karakter calon mempelai, bukan berdasarkan jenis kelamin (laki-laki). Karena itu, wali nikah boleh laki-laki dan boleh perempuan.
3. saksi nikah
saksi nikah memang perlu dan merupakan bagian dari unsur pencatatan perkawinan. Sebab pernikahan termasuk urusan publik. Alasannya adalah, perkawinan mengakibatkan adanya hubungan hukum antara para pihak yang perlu diketahui publik, baik antara suami dan isteri maupun antara orang tua dan anak kelak.
Namun yang berhak menjadi saksi tidak hanya (harus) laki-laki, perempuanpun dapat dan mungkin menjadi saksi nikah. Sebab tidak ada alasan mengapa wanita tidak dapat menjadi saksi nikah untuk saat sekarang di era global.
4. konsep mahar
konsep dan paradigma mahar pun perlu dirubah dari yang selama ini dipahami bahkan diyakini seolah suami membeli isteri diperbarui menjadi simbol cinta dan simbol janji mereka berdua untuk hidup saling mencintai dan saling melengkapi dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Maka status mahar dirubah dari semula seolah harga isteri menjadi simbol cinta dan kebersamaan.
5. poligami
poligami tidak sejalan dengan prinsip perkawinan yang monogami, dan (2) praktek poligami menyakitkan perempuan. Karena itu kemungkinan untuk poligami hanya dengan alasan-alasan dan dalam kondisi-kondisi tertentu yang sangat darurat. Menentukan darurat atau tidak pun adalah pemerintah atau sekelompok ahli dan pemimpin masyarakat, bukan orang-perorang.
6. kedudukan (status) suami dan isteri
dalam kehidupan dimana kemungkinan untuk mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk memimpin tidak lagi ada batasan bagi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Maka status suami sebagai kepala keluarga perlu dikembangkan untuk menjadi kepemimpinan yang kolegeal antara suami dan isteri. Sehingga suami dan isteri secara bersama memimpin perjalanan bahtera kehidupan rumah tangga. Demikian juga sebagai pananggung jawab nafkah dan penjaga harta bersama.
7. kewajiban suami dan isteri
sejalan dengan status suami dan isteri seperti disebutkan di atas, maka kewajiban mereka berdua pun sejalan dengan prinsip tersebut. Maka rumusannya berubah menjadi suami dan isteri sama-sama berkewajiban (1) sebagai pembimbing, (2) sebagai pelindung, (3) sebagai pendidik, dan (4) sebagai penanggung nafkah, dan (5) sebagai pengatur kehidupan rumah tangga.
8. nusyuz
nusyus pada prinsipnya berarti prilaku tidak setia pada pasangan, namun dalam bahasa agama disebut ‘durhaka’. Kemungkinan tidak setia pada pasangan atau durhaka bukan saja terjadi pada isteri, tetapi juga pada suami. Karena itu, nusyuz juga berlaku bagi isteri dan suami. Konsekuensinya, kalau salah satu pasangan durhaka maka berhak ditegur oleh pasangannya, suami atau isteri.
9. talak
untuk proses terjadinya perceraian seharusnya tidak perlu dibedakan antara suami dan isteri. Semuanya melibatkan pihak ketika untuk memberikan pertimbangan apakah perceraian memang jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi suami dan isteri dalam kehidupan rumah tangga. Maka suami dan isteri sama-sama mempunyai hak inisiatif untuk mengusulkan terjadinya perceraian.
10. masalah ruju‘
sejalan dengan konsep talak tersebut di atas, maka hak ruju‘ pun diberikan hak yang sama kepada suami dan isteri. Selama ini hak yang dimiliki isteri hanyalah hak keberatan, sementara hak ruju‘ menjadi hak mutlak suami.
11. masa menunggu (‘idda)
masa menunggi ini semestinya juga sejalan dengan prinsip talak dan ruju‘. Sebab persoalan masa menunggu lebih bersifat kejiwaan daripada sekedar mengetahui kondisi rahim apakah ada benih atau tidak. Kalau hanya persoalan mengetahui kondisi rahim tidak perlu ada masa tertentu, sebab kondisi rahim isteri dapat diketahui dalam waktu singkat dengan menggunakan teknologi.
12. hadanah
hak memelihara dan pendidik anakpun tidak perlu dibedakan antara perempuan (isteri) dan laki-laki (suami). Demikian juga peringkat hak hadanah berikutnya manakala bapak atau ibu berhalangan. Hak hadanah diberikan berdasarkan kemampuan dan kondisi para pihak, tanpa membedakan berdasarkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan.
13. syarat dan rukun perkawinan
sejalan dengan usulan di atas, maka syarat, rukun, dan unsur-unsur lain yang berkaitan dengan nikah pun disesuaikan dengan prinsip bilateral/parental.
Sebagai tambahan, ada tiga catatan penting yang perlu dikembangkan ke depan untuk menjamin para calon mempelai, khususnya calon mempelai perempuan (isteri) agar terhindari dari perlakuan diskriminatif, yakni
1. Kemungkinan perluasan konsep perjanjian perkawinan untuk menjamin hak-hak perempuan,
2. status harta bersama harus jelas secara tertulis di awal perkawinan (ketika akad nikah). Cara ini perlu dilakukan untuk menghindari kemungkinan adanya usaha politisasi harta bersama menjadi harta pribadi. Demikian juga dengan penetapan harta bersama secara tertulis di awal akad dapat menjamin mut‘ah pasca perceraian tidak menjadi sumber diskriminasi.
3. masalah pembayaran uang pengganti mahar (‘iwad) perlu dimodifikasi, misalnya menjadi tanggungan negara. Sebab pembayaran uang pengganti (‘iwad) ini dapat menjadi sumber diskriminasi ketika isteri tidak mempunyai ekonomi mapan. Dengan cara ini masalah khuluk tidak menjadi sumber diskriminasi. Sekedar tambahan, sumber diskriminasi lain yang mungkin muncul dari khuluk adalah ikrar talak yang masih terikat dan harus dari suami.
Hukum Keluarga Islam Sebagai Alat Rekayasa Sosial
Konsep bilateral yang ditawarkan di atas kelak diharapkan menjadi alat (ada juga yang menyebut sarana) rekayasa sosial daripada alat kontrol sosial. Sebab, di samping memiliki peran mengatur lalulintas hubungan antar manusia (law is a tool of social control), hukum juga dapat dijadikan instrumen perubahan masyarakat menuju keadaan ideal yang dicita-citakan. Dengan kata lain, hukum dapat memainkan peran sebagai alat rekayasa social (law is a tool of social engineering). Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Amerika bernama Roscoe Pound, dan kemudian diterima oleh sebagian besar ahli hukum, termasuk ahli hukum Indonesia. Ketika hukum hanya memainkan peran control sosial, hukum seringkali dimanipulasi sebagai alat melestarikan status quo dan pro kemapanan. Sekedar contoh adalah kasus di Amerika Serikat, dimana proses pemilihan umum yang diatur oleh undang-undang telah dimanipulasi untuk kepentingan orang kaya, dan bahwa rata-rata calon presiden Amerika Serikat bukanlah
orang miskin, bahwa seperlima senator di Amerika Serikat adalah milioner- milioner (orang kaya). Sebaliknya, teori yang dikembangkan Roscoe Pound menjadikan hukum sebagai sesuatu yang dinamis, karena ia dapat dijadikan instrumen perubahan masyarakat itu sendiri. Maka dengan konsep baru ini diharapkan dapat menjadi alat merubah paradigma masyarakat Indonesia. Dengan aplikasi konsep hukum baru yang berperspektif bilateral/parental ini diharapkan ke depan Indonesia dapat menjadi salah satu contoh untuk dunia Muslim di belahan dunia.
Untuk melihat hukum sebagai alat rekayasa social dapat dijelaskan sedikit lebih rinci, bahwa sistem normatif merupakan alat penghubung antara kesadaran dan aksi social. Rekayasa sosial dapat diartikan usaha pengendalian secara sadar terhadap sistem normative untuk mewujudkan mekanisme yang dapat dipergunakan akal dan kesadaran manusia guna mengendalikan proses-proses social untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan. Pembentukan norma-norma dan sanksi-sanksi dapat menjadi potensi untuk melakukan pengendalian secara rasional proses pembentukan masyarakat.
Maka rekayasa dimaksud adalah usaha merubah kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar secara mendalam, bahkan mengakar, mendaging, menulang dan mensulbi. Usaha perubahan dengan menggunakan hukum adalah salah satu alternative sebagai akibat dari hambatan melakukan rekayasa dari usaha lain. Hambatan dimaksud adalah hambatan biaya. Maksudnya terbatasnya biaya untuk melakukan program perubahan yang berencana menjadikan hukum sebagai salah satu alternatif. Hambatan kedua dalam melakukan perubahan sosial adalah sistem ide dan penentang yang muncul dari kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang sudah bertahan lama. Kelompok inilah yang lebih popular disebut sebagai kelompok status quo, yang umumnya menginginkan kemapanan.
Apa yang sudah menjadi pegangan umum masyarakat adalah, hukum bertujuan untuk menjamin stabilitas dan kepastian. Kemudian hukum berfungsi untuk pengendalian sosial. Pengendalian sosial ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1) pengendalian social yang bersifat preventif, dan (2) pengendalian yang bersifat represif. Preventif berupa pencegahan terhadap gangguan pada keseimbangan antara stabilitas dan fleksibilitas masyarakat. Sementara represif bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan sosial yang mengalami gangguan.
Sementara cara pengendalian sosial dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni: (1) bersifat fisik, (2) bersifat kebendaan, dan (3) bersifat simbolis. Kategori yang bersifat fisik misalnya dengan penggunaan senjata. Cara ini disebut coercive-power, dan biasanya banyak digunakan di Negara-negara yang sedang bergejolak. Teori kebendaan yang meliputi benda-benda maupun jasa dilakukan dalam masyarakat yang sudah menghargai material dan sudah menghargai perlunya imbalan terhadap kreasi. Cara ini disebut utilitarian-power. Sementara teori simbolis adalah dengan cara pemberian teladan dalam bentuk tingkah laku oleh masyarakat. Simbolis ini disebut dengan normative-power atau social-power.
Dalam melakukan rekayasa terhadap pemahaman masyarakat dalam bidang Hukum Keluarga Islam dapat dilakukan dengan menggunakan cara represif yang bersifat simbolis. Cara represif untuk mengembalikan paham masyarakat dari paham patriarkal menjadi paham bilateral dalam bentuk contoh dari para tokoh masyarakat. Karena itu, tahapan pertama yang perlu dilakukan adalah mengubah paham tokoh masyarakat yang masih bersifat patriarkal dalam memahami masalah-masalah perkawinan menjadi paham bilateral. Tahap berikutnya adalah para tokoh masyarakat ini memberikan contoh kepada masyarakat umum.
Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat.
Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan. Pengendalian sosial mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya.
Pengendalian Sosial (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan social control tersebut mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi, maupun konsiliasi. Standar atau patokan dari pemidanaan adalah suatu larangan, yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan (sanksi negatif) bagi pelanggarnya. Dalam hal ini, bila kepentingan-kepentingan dari suatu kelompok dilanggar, inisiatif datang dari seluruh warga kelompok (yang mungkin dikuasakan kepada pihak tertentu).
Pada kompensasi, standar atau patokannya adalah kewajiban, di mana inisiatif untuk memprosesnya ada pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan akan meminta ganti rugi, oleh karena pihak lawan melakukan wanprestasi. Di sini ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang, seperti halnya dengan pemidanaan yang sifatnya akusator.
Berbeda dengan kedua hal di atas, terapi maupun konsiliasi sifatnya “remedial”, artinya mengembalikan situasi (interaksi sosial) pada keadaan yang semula. Oleh karena itu, yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang menang, melainkan yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi, standarnya adalah normalitas, keserasian, dan kesepadanan yang biasa disebut keharmonisan.
Setiap kelompok masyarakat selalu memiliki problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standar dan yang praktis, antara yang seharusnya atau yang diharapkan untuk dilakukan dan apa yang dalam kenyataan dilakukan. Standar dan nilai-nilai kelompok dalam masyarakat mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku individu. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam masyarakat dapat disebut sebagai contoh: pencurian, perzinaan, ketidakmampuan membayar utang, melukai orang lain, pembunuhan, mencemarkan nama baik orang yang baik-baik, dan semacamnya. Semua contoh itu merupakan bentuk-bentuk tingkah laku menyimpang yang menimbulkan persoalan di masyarakat, baik masyarakat yang sederhana maupun masyarakat modern. Di dalam situasi yang demikian itu, kelompok itu berhadapan dengan problem untuk menjamin ketertiban bila kelompok itu menginginkan mempertahankan eksistensinya .
Fungsi hukum dalam kelompok di maksud di atas adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu. Anggota kelompok akan berhasil mengatasi tuntutan-tuntutan yang menuju ke arah penyimpangan, guna menjamin agar kelompok dimaksud tetap utuh, atau kemungkinan lain hukum gagal dalam melaksanakan tugasnya sehingga kelompok itu hancur, atau cerai-berai atau punah. Karena itu, hukum tampak mempunyai fungsi rangkap. Di satu pihak dapat merupakan tindakan yang mungkin menjadi demikian melembaga, yaitu menjadi mantap di antara anggota-anggota kelompok masyarakat sehingga hukum mudah dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok, dan kelompok itu menganggap tindakan itu sebagai suatu kewajiban. Di lain pihak mungkin merupakan tindakan yang berwujud reaksi kelompok itu terhadap tingkah laku yang menyimpang, dan yang diadakan untuk mengendalikan tingkah laku yang menyimpang itu. Hukum dalam pengertian yang disebutkan terakhir ini terdiri dari pola-pola tingkah laku yang dimanfaatkan oleh kelompok untuk mengembalikan tindakan-tindakan yang jelas mengganggu usaha-usaha untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok. Hukum dalam fungsinya yang demikian itu, merupakan instrumen pengendalian sosial.
Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Engineering
Hukum dapat bersifat sosial engineering : merupakan fungsi hukum dalam pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk dalam masyarakat yang sedang mengalami pergolakan dan pembangunan. Mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum.
Hal ini dimaksudkan dalam rangka memperkenalkan lembaga-lembaga hukum modern untuk mengubah alam pikiran masyarakat yang selama ini tidak mengenalnya, sebagai konsekuensi Negara sedang membangun, yang kaitannya menuju modernisasi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat. Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional/modern.
Munculnya pemikiran hukum baru di abad modern ini boleh disebut sebagai reaksi terhadap padangan hukum tradisional atau terhadap aliran mazhab sejarah yang dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi masyarakat modern.
Gerakan kodifikasi pada zaman baru sebagai akibat dari tampilnya unsure logika manusia, ternyata kemudian melahirkan masalah yang berkaitan dengan soal keadilan. Hal ini disebabkan oleh tertinggalanya kodifikasi itu oleh perkembangan masyarakat. Kepincangan-kepincangan dalam kodifikasi seringkali tampil disebabkan oleh tidak sesuainya lagi dengan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Keadaan ini mendorong orang untuk mencari keadilan melalui filsafat hukum.
Ciri lain dari pemikiran hukum abad modern ialah timbulnya pemikiran-pemikiran hukum yang berasal dari ahli hukum yang memiliki reputasi istimewa. Keadaan sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya, ketika filsafat hukum merupakan produk dari ahli filsafat.
Satu dari beberapa pemikiran hukum abad modern itu adalah apa yang dinamakan dengan social engineering yang dikembangkan oleh Rescoe Pound. Menurut pandangan hukum modern ini, hukum berfungsi sebagai alat perekayasaan masyarakat. Dimana, betapa jauh lebih pentingnya kekuatan-kekuatan sosial yang membentuk dari pernyataan-pernyataan legal teknis dalam membentuk hukum. Selain mengatur ketertiban masyarakat, kaidah-kaidah hukum harus membuka jalan dan saluran baru dalam system kehidupan agar tidak terjadi kepincangan-kepincangan dalam masyarakat serta ketidak adilan.
Pada masyarakat modern (terutama pada masyarakat yang membangun dengan system berencana) hukum harus berorientasi ke masa depan, bukan sebaliknya. Konsepsi hukum sebagai alat social engineering adalah suatu konsepsi hukum yang member kemungkinan untuk itu. Sebab tugas hukum menurut paham ini adalah untuk mempersiapkan norma-norma baru yang akan harus berlaku bagi dan dalam keadaan yang mengubah kemungkinan antar manusia yang lama menjadi manusia yang baru. Dalam menentukan norma-norma baru itu hukum senantiasa harus mengusahakan cara dan penyelesaian masalah yang seadil-adilnya terutama bagi pihak yang lemah.
Apa yang dikemukakan di atas hanyalah satu aspek dari pengejewantahan konsepsi hukum sebagai social engineering. Yang terpenting bagi kita untuk kesempatan ini adalah ide dasar dari pemikiran hukum itu sebagai social engineering dan bagaimana hukum dalam tugasnya menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat sosial yang terus berubah dan kebutuhannya juga semakin kompleks.
Dalam suatu formula yang sekarang menjadi klasik, Rescoe Pound melukiskan bahwa tugas pokok pemikiran modern mengenai hukum adalah “rekayasa sosial”. Dalam banyak karangan Pound berusaha untuk memudahkan dan menguatkan tugas rekayasa sosial ini dengan merumuskan dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial, yang keseimbangan menyebabkan hukum berkembang. Pound menggolongkan kepentingan-kepentingan tersebut ke dalam tiga golongan; Pertama, kepentingan-kepentingan umum; Kedua, kepentingan –kepentingan sosial dan; Ketiga, kepentingan-kepentingan induvidu.
Bagi Friedman, nilai dari pengelompokan serupa itu dari Pound dan berserta pengelompokan yang dikembangkan pengikut-pengikut Pound adalah; Pertama, pengelompokan itu melanjutkan pemikiran yang dimulai Jhering dan Bentham, yakni pendekatan hukum sebagai sarana menuju tujuan sosial dan alat dalam perhubungan sosial; Kedua, pengelompokan semacam itu sangat membantu untuk memperjelas dalil-dalil yang tidak jelas, untuk menjadikan pembuat undang-undang dan praktisi hukum yang menyadari prinsip-prinsip dan nilai-nilai dalam tiap soal khusus. Jadi bantuan penting dalam menggabungkan prinsip dan praktek.
Dengan demikian jelas, bahwa konsepsi hukum sebagai social engineering tampak berusaha untuk mendefenisikan nilai-nilai hukum yang terpenting dari masyarakat “beradab”. Tetapi disadari pula sebagaimana juga Pound, bahwa ada bahaya dalam penilaian yang lengkap tentang pengelompokan-pengelompokan sebagai kepentingan induvidu, umum dan sosial, Kepentingan induvidu dan sosial itu sendiri merupakan persoalan konsepsi-konsepsi politik yang berubah-ubah. Banyak kepentingan masuk kategori berbeda-beda. Tetapi jika diamati secara menyeluruh yang lebih penting dari pemikiran hukum baru ini, bukanlah pada dalil-dalil hukum masyarakat yang dikemukakan Pound. Melainkan adalah ide dasar dari pemikiran hukum itu sebagai social engineering. Tidak terlalu penting mempertentangkan dalil-dalil hukum (hukum perdata) yang dikemukakan Pound dengan penggolangan kepentingan-kepentingan yang diajukannya. Karena ternyata dalam perkembangan hukum dewasa ini menunjukan adanya unsure saling memasuki antara hukum perdata dan hukum public dan terlihat batas yang kabur antara keduanya.
Sebagaimana dikemukakan Friedman, bahwa yang jelas Pound telah berusaha untuk mendefenisikan hukum yang terpenting dari masyarakat beradab, karena pengertian beradab itu mengandung unsure penilaian pribadi, maka jelaslah bahwa nilai-nilai masyarakat beradab bukan dalil-dalil mutlak yang tidak tergantung dari waktu dan pengalaman sosial, tetapi dalil-dalil masyarakat beradab “ di zaman dan waktu kita”.
Bila dipahami ide dasar dari pemikiran hukum sebagai social engineering, barangkali tidak akan ditemui kesulitan jika perumusan lebih lanjut didasari oleh suatu pedoman yang universal dan memuat norma yang universal pula. Artinya dalil-dalil hukum masyarakat sosial yang hendak dirumuskan tidak bertolak dari penilaian pribadi. Dengan adanya suatu pedoman yang telah menjadi paham umum, maka perumusan konsepsi hukum sebagai social engineering akan menjadi suatu kekuatan yang besar dalam pembangunan hukum suatu masyarakat bangsa dengan perubahan dan kebutuhannya.
Selanjutnya, suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan selalu berada dibawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk memperngaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu , dinamakan social engineering atau social planning. Setidaknya dengan pemahaman kita terhadap apa yang dinamakan social engineering akan mengantarkan kita pada pemahaman yang lebih baik terhadap konsepsi hukum sebagai social engineering.
Rescoe Pound di dalam merumuskan teori kepentingannya, ia memandang hukum yang mencerminkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang teratur baik. Dalam kenyataannya, hukum adalah bentuk “enjinering sosial” dalam masyarakat beradab. Pound mengemukakan;
“Tujuan memahami hukum dewasa ini adalah untuk memikirkan hukum sebagai suatu institusi sosial yang dapat memenuhi keinginan sosial – dengan memberikan pengaruh sebanyak mungkin dan dengan pengorbanan yang sedikit-dikitnya sepanjang keinginan semacam itu dapat terpenuhi atau tuntutan semacam itu terpengaruhi oleh ketertiban tingkah laku manusia melalui masyarakat yang terorganisasi secara politis. Untuk tujuan sekarang ini saya merasa puas melihat dalam sejarah hukum tentang catatan suatu pengakuan dan pemenuhan yang terus menerus lebih luas dari kebutuhan atau tuntutan atau keinginan manusia melalui control sosial. Suatu pemantapan yang lebih efektif dari kepentingan sosial; suatu peniadaan pemborosan serta penghindaran perselisihan dalam kenikmatan manusia akan kebaikan eksistensi –dengan pendek kata—suatu enjinering sosial yang terus menerima lebih besar dayanya.
Dengan mencermati beberapa hal mengenai fungsi hukum sebagai social engineering itu, maka jelaslah bahwa pemikiran hukum sebagai social engineering yang diinginkan adalah bagaimana hukum tidak lagi berjalan dibelakang mengikuti dan membunti perkembangan masyarakat, tetapi berjalan di depan dan memimpin perkembangan masyarakat serta perubahan sosial. Artinya, dengan meletakan fungsi hukum sebagai social engineering, maka hukumlah yang membentuk kebiasaan dalam masyarakat.
Konsep Hukum Keluarga Islam Bersifat Bilateral
Yakin bahwa keluarga dan masyarakat yang hendak dibangun Nabi Muhammad dengan risalahnya adalah masyarakat bilateral atau parental, maka usaha ke arah ini seharusnya diusahakan maksimal. Sadar bahwa masalah-masalah yang berkaitan dengan Hukum Keluarga termasuk kelompok nash yang dekonstruksinya dilakukan secara berangsur-angsur sejak masa nabi sampai waktunya tepat dan kondusif, maka sekarang sudah waktunya menerapkan apa yang dicita-citakan nabi dan belum terbangun oleh muslim sepanjang sejarah, lebih khusus muslim Indonesia. Artinya, mayoritas konsep dan praktek muslim di bidang Hukum Keluarga, baik konsep konvensional dalam bentuk kitab fikih maupun konsep Perundang-undangan Kontemporer berupa Perundang-undangan, masih bersifat diskriminatif, patriarkal, belum bersifat kesetaraan dan bilateral/parental. Bahasan berikut adalah tawaran konsep bilateral Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan negara-negara Muslim, khususnya di Asia Tenggara.
Untuk memperlihatkan konsep yang bersifat bilateral, lebih dahulu dikemukakan konsep yang patriarkal dan diskriminatif. Dengan kupasan demikian diharapkan lebih memudahkan untuk menemukan nilai bilateral atau parentalnya. Berikut adalah gambaran konsep Hukum Keluarga Islam yang masih bersifat patriarkal, baik yang ada dalam kitab-kitab Fiqh Konvensional maupun Perundang-Undangan Perkawinan keluarga) Indonesia, khususnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk memudahkan, uraian dibuat dalam bentuk urutan nomor sebagai berikut:
1. konsep akad nikah (ijab dan kabul) dalam pasal 1 ayat (4).
ijab dari wali, sementara kabul dari suami.
2. konsep wali nikah dalam pasal 13 dihubungkan dengan pasal 18 ayat (2) dan pasal 19.
hak wali nikah hanya dimiliki yang berjenis kelamin laki-laki
3. saksi nikah dalam pasal 22.
saksi nikah harus laki-laki, sementara perempuan tidak mungkin menjadi saksi nikah
4. konsep mahar dalam pasal 1 ayat (7), 26 & 29.
seolah suami membeli isteri. Ini memberikan dampak negatif dalam hubungan suami dan isteri.
5. poligami dalam pasal 46 s/d 50.
tidak sejalan dengan prinsip perkawinan yang monogami, dan (2) praktek poligami menyakitkan perempuan.
6. kedudukan (status) suami dan isteri dalam psl 70 ayat (1).
suami sebagai kepala keluarga, sebagai pananggung jawab dan penjaga harta bersama, sementara isteri kepala rumah tangga
7. kewajiban suami dalam pasal 71.
(1) sebagai pembimbing, (2) sebagai pelindung, (3) sebagai pendidik, dan (4) sebagai penanggung nafkah
8. kewajiban isteri dalam pasal 74.
(1) berbakti lahir batin, dan (2) pengatur rumah tangga
9. nusyuz dalam psl 75 ayat (1 sd 4).
hanya berlaku bagi perempuan (isteri)
10. talak dalam banyak pasal.
talak adalah hak mutlak suami, meskipun ada hak khuluk isteri tetapi untuk terjadinya khuluk tetap tergantung pada persetujuan suami
11. masalah ruju‘ dalam pasal 122, 130 dan 131.
menjadi masalah, sebab meskipun ada hak isteri, ttp hanya hak keberatan bagi isteri.
12. Masa menunggu (‘idda) dalam psl 124.
hanya berlaku bagi mantan isteri
13. hadanah dalam psl 126.
diprioritaskan kepada perempuan (isteri)
Demikianlah gambaran umum konsep fiqh konvensional dan Perundang-Undangan Perkawinan Indonesia. Dari gambaran tersebut jelas memposisikan dan mengutamakan laki-laki (suami) dan mendiskreditkan serta mendiskriminasikan kaum perempuan, yang berarti masih bersifat patriarkal. Konsep ini jelas tidak sejalan dengan misi pokok Islam yang hendak membangun kekeluargaan dan masyarakat (sosial) yang bilateral atau parental. Maka tawaran konsep Hukum Keluarga Islam yang kelak
diberlakukan di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. konsep akad nikah (ijab dan kabul)
ijab dari calon mempelai perempuan dan kabul dari calon suami. Walaupun misalnya melibatkan wali atau orang-orang yang dekat dengan calon mempelai hanya bersifat sekunder sebagai bahan pertimbangan karena mereka sudah mempunyai pengalaman, bukan penentu yang bersifat mutlak.
2. konsep wali nikah
sejalan dengan konsep hak wali nikah dan hak orang-orang yang dekat dengan calon mempelai tersebut di atas, maka hak ini dimiliki oleh semua keluarga, dan unsur yang menjadi pertimbangan pokok adalah kedekatan dengan dan pemahaman terhadap karakter calon mempelai, bukan berdasarkan jenis kelamin (laki-laki). Karena itu, wali nikah boleh laki-laki dan boleh perempuan.
3. saksi nikah
saksi nikah memang perlu dan merupakan bagian dari unsur pencatatan perkawinan. Sebab pernikahan termasuk urusan publik. Alasannya adalah, perkawinan mengakibatkan adanya hubungan hukum antara para pihak yang perlu diketahui publik, baik antara suami dan isteri maupun antara orang tua dan anak kelak.
Namun yang berhak menjadi saksi tidak hanya (harus) laki-laki, perempuanpun dapat dan mungkin menjadi saksi nikah. Sebab tidak ada alasan mengapa wanita tidak dapat menjadi saksi nikah untuk saat sekarang di era global.
4. konsep mahar
konsep dan paradigma mahar pun perlu dirubah dari yang selama ini dipahami bahkan diyakini seolah suami membeli isteri diperbarui menjadi simbol cinta dan simbol janji mereka berdua untuk hidup saling mencintai dan saling melengkapi dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Maka status mahar dirubah dari semula seolah harga isteri menjadi simbol cinta dan kebersamaan.
5. poligami
poligami tidak sejalan dengan prinsip perkawinan yang monogami, dan (2) praktek poligami menyakitkan perempuan. Karena itu kemungkinan untuk poligami hanya dengan alasan-alasan dan dalam kondisi-kondisi tertentu yang sangat darurat. Menentukan darurat atau tidak pun adalah pemerintah atau sekelompok ahli dan pemimpin masyarakat, bukan orang-perorang.
6. kedudukan (status) suami dan isteri
dalam kehidupan dimana kemungkinan untuk mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk memimpin tidak lagi ada batasan bagi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Maka status suami sebagai kepala keluarga perlu dikembangkan untuk menjadi kepemimpinan yang kolegeal antara suami dan isteri. Sehingga suami dan isteri secara bersama memimpin perjalanan bahtera kehidupan rumah tangga. Demikian juga sebagai pananggung jawab nafkah dan penjaga harta bersama.
7. kewajiban suami dan isteri
sejalan dengan status suami dan isteri seperti disebutkan di atas, maka kewajiban mereka berdua pun sejalan dengan prinsip tersebut. Maka rumusannya berubah menjadi suami dan isteri sama-sama berkewajiban (1) sebagai pembimbing, (2) sebagai pelindung, (3) sebagai pendidik, dan (4) sebagai penanggung nafkah, dan (5) sebagai pengatur kehidupan rumah tangga.
8. nusyuz
nusyus pada prinsipnya berarti prilaku tidak setia pada pasangan, namun dalam bahasa agama disebut ‘durhaka’. Kemungkinan tidak setia pada pasangan atau durhaka bukan saja terjadi pada isteri, tetapi juga pada suami. Karena itu, nusyuz juga berlaku bagi isteri dan suami. Konsekuensinya, kalau salah satu pasangan durhaka maka berhak ditegur oleh pasangannya, suami atau isteri.
9. talak
untuk proses terjadinya perceraian seharusnya tidak perlu dibedakan antara suami dan isteri. Semuanya melibatkan pihak ketika untuk memberikan pertimbangan apakah perceraian memang jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi suami dan isteri dalam kehidupan rumah tangga. Maka suami dan isteri sama-sama mempunyai hak inisiatif untuk mengusulkan terjadinya perceraian.
10. masalah ruju‘
sejalan dengan konsep talak tersebut di atas, maka hak ruju‘ pun diberikan hak yang sama kepada suami dan isteri. Selama ini hak yang dimiliki isteri hanyalah hak keberatan, sementara hak ruju‘ menjadi hak mutlak suami.
11. masa menunggu (‘idda)
masa menunggi ini semestinya juga sejalan dengan prinsip talak dan ruju‘. Sebab persoalan masa menunggu lebih bersifat kejiwaan daripada sekedar mengetahui kondisi rahim apakah ada benih atau tidak. Kalau hanya persoalan mengetahui kondisi rahim tidak perlu ada masa tertentu, sebab kondisi rahim isteri dapat diketahui dalam waktu singkat dengan menggunakan teknologi.
12. hadanah
hak memelihara dan pendidik anakpun tidak perlu dibedakan antara perempuan (isteri) dan laki-laki (suami). Demikian juga peringkat hak hadanah berikutnya manakala bapak atau ibu berhalangan. Hak hadanah diberikan berdasarkan kemampuan dan kondisi para pihak, tanpa membedakan berdasarkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan.
13. syarat dan rukun perkawinan
sejalan dengan usulan di atas, maka syarat, rukun, dan unsur-unsur lain yang berkaitan dengan nikah pun disesuaikan dengan prinsip bilateral/parental.
Sebagai tambahan, ada tiga catatan penting yang perlu dikembangkan ke depan untuk menjamin para calon mempelai, khususnya calon mempelai perempuan (isteri) agar terhindari dari perlakuan diskriminatif, yakni
1. Kemungkinan perluasan konsep perjanjian perkawinan untuk menjamin hak-hak perempuan,
2. status harta bersama harus jelas secara tertulis di awal perkawinan (ketika akad nikah). Cara ini perlu dilakukan untuk menghindari kemungkinan adanya usaha politisasi harta bersama menjadi harta pribadi. Demikian juga dengan penetapan harta bersama secara tertulis di awal akad dapat menjamin mut‘ah pasca perceraian tidak menjadi sumber diskriminasi.
3. masalah pembayaran uang pengganti mahar (‘iwad) perlu dimodifikasi, misalnya menjadi tanggungan negara. Sebab pembayaran uang pengganti (‘iwad) ini dapat menjadi sumber diskriminasi ketika isteri tidak mempunyai ekonomi mapan. Dengan cara ini masalah khuluk tidak menjadi sumber diskriminasi. Sekedar tambahan, sumber diskriminasi lain yang mungkin muncul dari khuluk adalah ikrar talak yang masih terikat dan harus dari suami.
Hukum Keluarga Islam Sebagai Alat Rekayasa Sosial
Konsep bilateral yang ditawarkan di atas kelak diharapkan menjadi alat (ada juga yang menyebut sarana) rekayasa sosial daripada alat kontrol sosial. Sebab, di samping memiliki peran mengatur lalulintas hubungan antar manusia (law is a tool of social control), hukum juga dapat dijadikan instrumen perubahan masyarakat menuju keadaan ideal yang dicita-citakan. Dengan kata lain, hukum dapat memainkan peran sebagai alat rekayasa social (law is a tool of social engineering). Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Amerika bernama Roscoe Pound, dan kemudian diterima oleh sebagian besar ahli hukum, termasuk ahli hukum Indonesia. Ketika hukum hanya memainkan peran control sosial, hukum seringkali dimanipulasi sebagai alat melestarikan status quo dan pro kemapanan. Sekedar contoh adalah kasus di Amerika Serikat, dimana proses pemilihan umum yang diatur oleh undang-undang telah dimanipulasi untuk kepentingan orang kaya, dan bahwa rata-rata calon presiden Amerika Serikat bukanlah
orang miskin, bahwa seperlima senator di Amerika Serikat adalah milioner- milioner (orang kaya). Sebaliknya, teori yang dikembangkan Roscoe Pound menjadikan hukum sebagai sesuatu yang dinamis, karena ia dapat dijadikan instrumen perubahan masyarakat itu sendiri. Maka dengan konsep baru ini diharapkan dapat menjadi alat merubah paradigma masyarakat Indonesia. Dengan aplikasi konsep hukum baru yang berperspektif bilateral/parental ini diharapkan ke depan Indonesia dapat menjadi salah satu contoh untuk dunia Muslim di belahan dunia.
Untuk melihat hukum sebagai alat rekayasa social dapat dijelaskan sedikit lebih rinci, bahwa sistem normatif merupakan alat penghubung antara kesadaran dan aksi social. Rekayasa sosial dapat diartikan usaha pengendalian secara sadar terhadap sistem normative untuk mewujudkan mekanisme yang dapat dipergunakan akal dan kesadaran manusia guna mengendalikan proses-proses social untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan. Pembentukan norma-norma dan sanksi-sanksi dapat menjadi potensi untuk melakukan pengendalian secara rasional proses pembentukan masyarakat.
Maka rekayasa dimaksud adalah usaha merubah kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar secara mendalam, bahkan mengakar, mendaging, menulang dan mensulbi. Usaha perubahan dengan menggunakan hukum adalah salah satu alternative sebagai akibat dari hambatan melakukan rekayasa dari usaha lain. Hambatan dimaksud adalah hambatan biaya. Maksudnya terbatasnya biaya untuk melakukan program perubahan yang berencana menjadikan hukum sebagai salah satu alternatif. Hambatan kedua dalam melakukan perubahan sosial adalah sistem ide dan penentang yang muncul dari kepentingan-kepentingan kelompok tertentu yang sudah bertahan lama. Kelompok inilah yang lebih popular disebut sebagai kelompok status quo, yang umumnya menginginkan kemapanan.
Apa yang sudah menjadi pegangan umum masyarakat adalah, hukum bertujuan untuk menjamin stabilitas dan kepastian. Kemudian hukum berfungsi untuk pengendalian sosial. Pengendalian sosial ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1) pengendalian social yang bersifat preventif, dan (2) pengendalian yang bersifat represif. Preventif berupa pencegahan terhadap gangguan pada keseimbangan antara stabilitas dan fleksibilitas masyarakat. Sementara represif bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan sosial yang mengalami gangguan.
Sementara cara pengendalian sosial dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni: (1) bersifat fisik, (2) bersifat kebendaan, dan (3) bersifat simbolis. Kategori yang bersifat fisik misalnya dengan penggunaan senjata. Cara ini disebut coercive-power, dan biasanya banyak digunakan di Negara-negara yang sedang bergejolak. Teori kebendaan yang meliputi benda-benda maupun jasa dilakukan dalam masyarakat yang sudah menghargai material dan sudah menghargai perlunya imbalan terhadap kreasi. Cara ini disebut utilitarian-power. Sementara teori simbolis adalah dengan cara pemberian teladan dalam bentuk tingkah laku oleh masyarakat. Simbolis ini disebut dengan normative-power atau social-power.
Dalam melakukan rekayasa terhadap pemahaman masyarakat dalam bidang Hukum Keluarga Islam dapat dilakukan dengan menggunakan cara represif yang bersifat simbolis. Cara represif untuk mengembalikan paham masyarakat dari paham patriarkal menjadi paham bilateral dalam bentuk contoh dari para tokoh masyarakat. Karena itu, tahapan pertama yang perlu dilakukan adalah mengubah paham tokoh masyarakat yang masih bersifat patriarkal dalam memahami masalah-masalah perkawinan menjadi paham bilateral. Tahap berikutnya adalah para tokoh masyarakat ini memberikan contoh kepada masyarakat umum.
0 comments
Post a Comment
IF YOU LIKE THIS ARTICLE, PLEASE SHARE OR LEAVE YOUR COMMENT ..