Perkembangan hukum progresif sulit terlepaskan dari pemikir realisme hukum Nonet dan Selznik. Menurut Nonet dan Selznik (2003: 59) mengemukakan tiga perkembangan tatanan hukum dalam masyarakat yang sudah terorganisir secara politik dalam bentuk negara. Ketiga tipe tatanan hukum itu adalah tatanan hukum represif, tatanan hukum otonomius dan tatanan hukum responsif.
Dalam tipe tatanan hukum represif, hukum dipandang sebagai abdi kekuasaan represif dan perintah dari yang beradulat (pengemban kekuasaan politik) yang memilki kewenangan diskresioner tanpa batas. Dalam tipe ini, maka hukum dan negara serta politik tidak terpisah, sehingga aspek instrumental dari hukum sangat mengemuka (dominan lebih menonjol ke permukaan) ketimbang aspek ekspresifnya.
Dalam tipe tatanan hukum represif memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:
1.Kekuasaan politik memiliki akses langsung pada istnitusi hukum sehingga tata hukum praktis menjadi identik dengan negara, dan hukum disubordinasi pada “rasion de etre”
2.Konservasi otoritas menjadi preokupasi berlebihan para pejabat hukum yang memunculkan “perspektif pejabat, yakni perspektif yang memandang keraguan harus menguntungkan sistem dan sangat mementingkan kemudahan admnistratif.
3.Badan kontrol khusus menjadi pusat kekuasaan independen yang terisolasi dari konteks sosial yang memoderatkan dan kapabel melawan otoritas politik.
4.Rezim hukum ganda mengintitusionalisasi keadilan kelas yang mengkonsolidasi dan melegitimasi pola-pola subordinasi sosial.
5.Perundang-undangan pidana mencerminkan dominan mores yang sangat menonjolkan legal moralism. (Bernard Arief Sidharta, 2009: 50)
Dalam tipe tatanan hukum otonomius, hukum dipandang sebagai institusi mandiri yang mampu mengendalikan represi dan melindungi integritasnya sendiri. Tatanan hukum itu berintikan rule of law. Subordinasi putusan pejabat pada hukum, integritas hukum, dan dalam kerangka itu institusi hukum serta cara berpikir memiliki batas-batas yang jelas. Dalam tipe ini keadilan prosedural sangat ditonjolkan. Tipe tatanan hukum otonomius memilki ciri-ciri:
1.Hukum terpisah dari politik yang mengimplikasikan kewenangan kehakiman yang bebas dan separasi fungsi legislatif dan fungsi yudisial.
2.Tata hukum mengacu model aturan. Dalam kerangka ini, maka aturan membantu penegakan penilaian terhadap pertanggungjawaban pejabat. Selain itu aturan membatasi kreativitas institusi hukum dan persiapan hukum ke dalam wilayah publik.
3.Prosedur dipandang sebagai inti hukum, dan dengan demikian maka tujuan pertama dan kompetensi utama tata hukum adalah regularitas dan kelayakan.
4.Loyalitas pada hukum yang mengharuskan kepatuhan semua pihak pada aturan hukum positif. Kritik gerhadap aturan hukum positif harus dilaksankan melalui proses politik. (Bernard Arief Sidharta, 2009: 51)
Dalam tipe tatanan hukum responsif, hukum dipandang sebagai fasilitator respon atau sarana tanggapan terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Padangan ini mengimplikasikan pada dua hal. Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan dan rasional. Kedua, tujuan menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang berjalan (Bernard Arief Sidharta, 2009: 50). Dalam tipe ini, aspek ekspresif dari hukum lebih mengemuka ketimbang dua tipe lainnya dan keadilan substantif juga dipentingkan disamping keadilan prosedural.
Melalui tipe hukum yang responsif. Oleh Satjipto Rahrdjo (2007: 228) tipe hukum ini dianggap sebagai tipe hukum yang ideal, sebagai tipe hukum yang memperjuangkan keadilan prosedural dan keadilan substantif. Sehingga muncul istilah hukum progresif.
Hukum yang progresif menganggap bahwa hukum bukanlah aturan yang kebal kritik, sehinga muncul gerakan dalam aliran pemikiran ilmu hukum yaitu critical legal study (Robert M. Unger). Hukum tidak selamanya sebagai hukum yang formal dan prosedural. Hukum yang terabstraksi adalam aturan-aturan adalah untuk kepentingan manusia itu. Hukum progresif akan tetap hidup karena hukum selalu berada pada statusnya sebagai law the making dan tidak pernah bersifat final sepanjang manusia itu ada, maka hukum progresif akan terus hidup dalam menata kehidupan masyarakat.
Dalam hukum progresif, juga selalau melekat etika dan moralitas kemanusiaan, yang akan memberikan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan manusia serta mengabdi pada keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan kepedulian terhadap manusia pada umumnya.
Selain Nonet dan dan Selznik yang dapat dijadikan acuan sebagai dasar lahirnya hukum progresif, juga dapat diamati pendapat Roscue pound _ law as a tool social enginering, yang kemudian dikembangkan oleh Muchtar Kusumaatmadja sebagai law as a tool of development. Hukum setelah diselidiki fakta-fakta atau gejalanya, karena hukum untuk manusia (aliran history/ Carl V. Savigni), terbentuklah hukum yang baru (pembaharuan hukum) dan memihak pada kepentingan manusia. Inilah yang disebut hukum pembangunan oleh Kusumaatmadja (mazhab hukum Unpad)
Dalam tipe tatanan hukum represif, hukum dipandang sebagai abdi kekuasaan represif dan perintah dari yang beradulat (pengemban kekuasaan politik) yang memilki kewenangan diskresioner tanpa batas. Dalam tipe ini, maka hukum dan negara serta politik tidak terpisah, sehingga aspek instrumental dari hukum sangat mengemuka (dominan lebih menonjol ke permukaan) ketimbang aspek ekspresifnya.
Dalam tipe tatanan hukum represif memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:
1.Kekuasaan politik memiliki akses langsung pada istnitusi hukum sehingga tata hukum praktis menjadi identik dengan negara, dan hukum disubordinasi pada “rasion de etre”
2.Konservasi otoritas menjadi preokupasi berlebihan para pejabat hukum yang memunculkan “perspektif pejabat, yakni perspektif yang memandang keraguan harus menguntungkan sistem dan sangat mementingkan kemudahan admnistratif.
3.Badan kontrol khusus menjadi pusat kekuasaan independen yang terisolasi dari konteks sosial yang memoderatkan dan kapabel melawan otoritas politik.
4.Rezim hukum ganda mengintitusionalisasi keadilan kelas yang mengkonsolidasi dan melegitimasi pola-pola subordinasi sosial.
5.Perundang-undangan pidana mencerminkan dominan mores yang sangat menonjolkan legal moralism. (Bernard Arief Sidharta, 2009: 50)
Dalam tipe tatanan hukum otonomius, hukum dipandang sebagai institusi mandiri yang mampu mengendalikan represi dan melindungi integritasnya sendiri. Tatanan hukum itu berintikan rule of law. Subordinasi putusan pejabat pada hukum, integritas hukum, dan dalam kerangka itu institusi hukum serta cara berpikir memiliki batas-batas yang jelas. Dalam tipe ini keadilan prosedural sangat ditonjolkan. Tipe tatanan hukum otonomius memilki ciri-ciri:
1.Hukum terpisah dari politik yang mengimplikasikan kewenangan kehakiman yang bebas dan separasi fungsi legislatif dan fungsi yudisial.
2.Tata hukum mengacu model aturan. Dalam kerangka ini, maka aturan membantu penegakan penilaian terhadap pertanggungjawaban pejabat. Selain itu aturan membatasi kreativitas institusi hukum dan persiapan hukum ke dalam wilayah publik.
3.Prosedur dipandang sebagai inti hukum, dan dengan demikian maka tujuan pertama dan kompetensi utama tata hukum adalah regularitas dan kelayakan.
4.Loyalitas pada hukum yang mengharuskan kepatuhan semua pihak pada aturan hukum positif. Kritik gerhadap aturan hukum positif harus dilaksankan melalui proses politik. (Bernard Arief Sidharta, 2009: 51)
Dalam tipe tatanan hukum responsif, hukum dipandang sebagai fasilitator respon atau sarana tanggapan terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Padangan ini mengimplikasikan pada dua hal. Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan dan rasional. Kedua, tujuan menetapkan standar bagi kritik terhadap apa yang berjalan (Bernard Arief Sidharta, 2009: 50). Dalam tipe ini, aspek ekspresif dari hukum lebih mengemuka ketimbang dua tipe lainnya dan keadilan substantif juga dipentingkan disamping keadilan prosedural.
Melalui tipe hukum yang responsif. Oleh Satjipto Rahrdjo (2007: 228) tipe hukum ini dianggap sebagai tipe hukum yang ideal, sebagai tipe hukum yang memperjuangkan keadilan prosedural dan keadilan substantif. Sehingga muncul istilah hukum progresif.
Hukum yang progresif menganggap bahwa hukum bukanlah aturan yang kebal kritik, sehinga muncul gerakan dalam aliran pemikiran ilmu hukum yaitu critical legal study (Robert M. Unger). Hukum tidak selamanya sebagai hukum yang formal dan prosedural. Hukum yang terabstraksi adalam aturan-aturan adalah untuk kepentingan manusia itu. Hukum progresif akan tetap hidup karena hukum selalu berada pada statusnya sebagai law the making dan tidak pernah bersifat final sepanjang manusia itu ada, maka hukum progresif akan terus hidup dalam menata kehidupan masyarakat.
Dalam hukum progresif, juga selalau melekat etika dan moralitas kemanusiaan, yang akan memberikan respon terhadap perkembangan dan kebutuhan manusia serta mengabdi pada keadilan, kesejahteraan, kemakmuran dan kepedulian terhadap manusia pada umumnya.
Selain Nonet dan dan Selznik yang dapat dijadikan acuan sebagai dasar lahirnya hukum progresif, juga dapat diamati pendapat Roscue pound _ law as a tool social enginering, yang kemudian dikembangkan oleh Muchtar Kusumaatmadja sebagai law as a tool of development. Hukum setelah diselidiki fakta-fakta atau gejalanya, karena hukum untuk manusia (aliran history/ Carl V. Savigni), terbentuklah hukum yang baru (pembaharuan hukum) dan memihak pada kepentingan manusia. Inilah yang disebut hukum pembangunan oleh Kusumaatmadja (mazhab hukum Unpad)
0 comments
Post a Comment
IF YOU LIKE THIS ARTICLE, PLEASE SHARE OR LEAVE YOUR COMMENT ..