Telaah Kritis Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Tentang Muka Masamnya Nabi Saw
Oleh: Shaleh Andishmand
Prof Shihab menolak argumen yang kedua, dan dengan hati-hati beliau meyakinkan pendapatnya dengan mengurai dan menyandarkannya pada faktor tempat perkara dan situasi serta budaya arab pada saat itu. dan menetapkan dengan tegas bahwa bahwa surat yang turun pada saat itu tidak lain ditujukan kepada pribadi Nabi sendiri. Yang masih menurut Ustad Shihab apa yang dilakukan oleh Nabi dengan bermuka masam dan kemudian memalingkan wajahnya dari ibn Maktum yang hadir pada saat sedang menjamu para pemuka kafir Quraish adalah sikap yang wajar dan paling toleran untuk ukuran sosial pada saat itu.
Seperti yang ditulis oleh para sejarawan, bahwa sejarah masa lalu umat manusia senantiasa diliputi oleh pelbagai tragedi kemanusiaan, penindasan, kekerasan dan ketidakadilan yang mewarnai sederet epos sejarah peradaban masa itu, yang warisan dan jejaknya masih bisa kita lihat dan kita rasakan hingga hari ini.
Zaman tersebut di atas benar-benar pernah terjadi bahkan dengan modelnya yang paling extrem yang terjadi di zaman gelap jahiliyah, dimana Nabi pernah hidup di dalamnya. Kondisi begitu buruknya sehingga kelas-kelas penguasa dari bangsawan kafir Quraish dengan seenaknya tanpa kontrol apapun melakukan penindasan, merampas dan menghancurkan kehormatan mereka, sehingga kelas masyarakat yang kemudian lebih kita kenal sebagai kaum Mustazdafin dan kalangan budak itu merasakan kehidupan yang paling menyengsarakan dan penuh penderitaan.
Hubungan antara kaum kaya bangsawan dan kalangan miskin membentuk semacam dua kutub yang pada akhirnya melahirkan hubungan tuan dan budak. Budak praktis kehilangan seluruh identitas dirinya yang tidak lain mereka adalah milik dan dimiliki sepenuhnya oleh tuan-tuan mereka, diri mereka kini menjadi milik majikannya.
Seperti yang juga ditulis oleh Prof Shihab, bahwa keadaan yang demikian melazimkan lahirnya sebuah hubungan yang khas antara rakyat dan kaum Mustazdafin di satu pihak dan Bangsawan Quraish di pihak yang lain, sehingga garis pembatas di antara keduanya semakin menganga lebar dan memungkinkan Pembesar-pembesar Kafir Quraish untuk senantiasa mengelola kejahatan dan kesewenangan mereka dengan pelbagai cara yang menjauhkan mereka dari adanya pihak yang mampu mengontrol kebiadaban mereka. Kenyataan tersebut meniscayakan sulitnya mereka untuk dapat berbaur bersama dengan kaum papa tersebut, sulit rasanya kita bisa merindukan mereka duduk bersama di atas permadani dan alas yang sama pula, sebuah mimpi di siang bolong!
Ustad Quraish dengan jernih melihat kenyataan di atas untuk menilik sebuah turunnya surat, dan kali ini adalah sebuah surat yang terus menerus menjadi silang pendapat di kalangan kaum muslimin yaitu surat Abasa watawalla, yang pada sebagian mufasirin melihat turunnya surat tersebut berkaitan dengan Abdullah ibn Ummi Maktum seorang Mustazdafin Mekah yang buta kedua matanya, yang datang untuk menghadiri acara khusus, yaitu pertemuan antara Rasul dan Pembesar-pembesar Quraish, mereka beranggapan bahwa kejadian di atas membuat Nabi gerah karena terjadi justru ketika pembicaraan sedang berlangsung dan tiba-tiba ibn Maktum melontarkan serangkaian pertanyaan, dan diyakini oleh mereka bahwa atas kelancangan ibn Maktum itulah Nabi kemudian tidak bisa menyembunyikan kekesalannya dengan raut muka yang masam kemudian memalingkan wajahnya. Pertanda bahwa Rasul Muhammad saw tidak menyukai peristiwa yang baru saja dialaminya tersebut.
Sementara sebagian Mufasirin yang lain menisbatkan bahwa ditegurnya seseorang pada peristiwa tersebut oleh Allah swt dalam suratnya adalah orang lain yang menjadi lawan bicara Nabi pada saat itu.
Prof Shihab menolak argumen yang kedua, dan dengan hati-hati beliau meyakinkan pendapatnya dengan mengurai dan menyandarkannya pada faktor tempat perkara dan situasi serta budaya arab pada saat itu. dan menetapkan dengan tegas bahwa bahwa surat yang turun pada saat itu tidak lain ditujukan kepada pribadi Nabi sendiri. Yang masih menurut Ustad Shihab apa yang dilakukan oleh Nabi dengan bermuka masam dan kemudian memalingkan wajahnya dari ibn Maktum yang hadir pada saat sedang menjamu para pemuka kafir Quraish adalah sikap yang wajar dan paling toleran untuk ukuran sosial pada saat itu.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sebuah rangkaian peristiwa adalah sejarah kehidupan manusia pada masa lalu, yang diceritakan dan di distribusikan dengan pelbagai cara dan utamanya adalah melalui media tulis, namun sering kali kita dapati bahwa seting sejarah yang disuguhkannya tidak mampu memberikan gambaran yang utuh atas peristiwa yang benar-benar terjadi, apalagi bias dan faktor-faktor internal lainnya sering kali ikut serta mempengaruhi hasil yang hendak dikhabarkan.
Namun demikian dengan berbekal pada pandangan ilmiah yang lebih akurat, akan memberikan kepada kita sebuah celah yang lebih tajam untuk melacak jalannya sebuah sejarah yang terjadi pada masa lalu, dan melakukan rekonstruksi terhadap detail peristiwa yang belum terungkap dengan jelas. Alat ukur tersebut mendorong kita untuk kemudian secara konsisten penjauhan obyek kajian pada posisi yang aman, dan membiarkan sejarah itu sendiri yang “berbicara”, dengan demikian kita akan mampu mendapati alur kisah yang mendekati kenyataan yang sebenarnya.
Kembali pada apa yang ditulis oleh Prof Shihab bahwa peristiwa asbabun-nuzul dari turunnya surat Abasa ditujukan langsung kepada pribadi Muhammad saw dan bukan yang lain.
Mengacu pada apa yang telah dipaparkannya pada tafsir beliau berkaitan dengan turunnya surat Abasa tersebut, kita akan mencoba untuk melakukan analisis dengan mendekati kejadian perkara untuk memudahkan kita dalam menentukan dengan persis siapa sebenarnya orang yang ditegur dalam surat Abasa tersebut.
Setidaknya kita memiliki tiga asumsi dan kemungkinan, yang akan kita uji bersama di mana sesungguhnya peristiwa pertemuan antara Nabi Muhammad dan pembesar-pembesar suku Quraish itu berlangsung, dan turunnya ayat Abasa watawalla tersebut. Menilik tempat kejadian perkara menjadi model yang menurut hemat saya adalah sebuah cara pendekatan yang paling memungkinkan untuk menelusuri dan kemudian memetakan dengan tepat berlangsungnya sebuah peristiwa.
Asumsi yang pertama adalah, bahwa pertemuan itu berlangsung di sebuah tempat atau aula umum yang biasa menjadi tempat di mana khalayak biasa bertemu dan memutuskan perkara-perkara mereka, aula semacam itu setidaknya mensyaratkan sebuah model bangunan yang relatif mudah untuk bisa dijangkau dan dimasuki oleh banyak orang, sehingga apa-apa yang terjadi di dalamnya akan mudah diakses dan diketahui secara langsung oleh kebanyakan orang. Agaknya tempat semacam ini kurang cocok untuk pertemuan kali ini, karena sudah berkali-kali tempat yang demikian justru menjadi lahan yang empuk buat Nabi untuk menyampaikan gagasan-gagasannya dan seruan tauhidnya, dan sekaligus untuk membuktikan kebohongan-kebohongan agama pagan kafir Quraish. Dan tentu saja kondisi yang demikian sama sekali tidak diharapkan oleh pembesar-pembesar Quraish, masih segar dalam ingatan mereka bagaimana Nabi memanfaatkan ruang publik semacam Ka’bah menjadi sarana menyuarakan misi langitnya, dan itu sudah cukup untuk mengundamg simpati banyak orang. dan kondisi yang demikian akan berakibat buruk untuk posisi dan kedudukan mereka ditengah-tengah masyarakat. Dan seandainya peristiwa tersebut benar-benar terjadi di tempat semacam itu, tentunya ibn Maktum tidak akan tampil sendirian dan akan diikuti oleh kalangan mustazdafin lainnya, untuk melihat dari dekat Nabinya berargumen dan membuktikan kebenaran akan misinya.
Jika pada saat itu ibn Maktum menyela pembicaraan mereka dengan melontarkan pertanyaan perihal dirinya kepada Nabi, dan Nabi kemudian menanggapinya dengan muka yang cemberut dan segera memalingkan wajahnya, tentunya aksi yang demikian akan menjadikan posisi Nabi sangat berbahaya yang jauh dari akhlak mulia yang selama ini beliau kemukakan di banyak kesempatan dan kepada siapa pun, dengan mengatakan hahwa akhlak mulia adalah hiasan kaum beriman, dan inilah sikap yang menjadikan pesona Nabi luar biasa ditengah-tengah masyarakat yang bengis dan jauh dari nilai-nilai mulia. Dan jika benar bahwa Nabi bermuka masam, keadaan demikian akan membuat rasa frustasi pengikut beliau yang hadir pada saat itu karena kini tak ada lagi Nabi yang santun dan ramah yang bisa menghargai harga dirinya di depan pembesar-pembesar Quraish. Sementara pada pihak kafir Quraish bahwa berkumpul di satu tempat dengan para mustazdafin untuk acara sepenting itu adalah bukan pilihan yang tepat, mengingat kehormatan dan harga diri mereka sedang dipertaruhkan pada saat itu.
Dengan kata lain kejadian dan berlangsungnya acara tersebut menjadi sangat kecil kemungkinannya jika berlangsung di tempat seperti itu, kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin terjadi.
Asumsi yang berikut adalah bahwa pertemuan diselenggarakan di salah satu rumah dari Pembesar Quraish. Kalau sedikit kita renungkan dan kemudian membayangkan bentuk dari arsitektur rumah para pembesar Quraish saat itu, tentunya akan kita dapati bahwa rumah yang mereka tempati akan dibangun sedemikian rupa sehingga tidak mudah orang asing begitu saja bisa memasuki pelataran dan rumah mereka. Penjagaan dan pengawalan ketat dari para budak mereka rasanya sudah cukup untuk bisa menghalau orang seperti ibn Maktum.
Andaikan peristiwa itu memang benar-benar terjadi di salah satu dari rumah mereka, di butuhkan upaya yang cukup besar buat ibn Maktum untuk bisa sekonyong-konyong hadir di tengah-tengah mereka dikala Kafir Quraish dan Nabi sedang terlibat pembicaraan sepenting itu. kecil kemungkinannya kejadian tersebut berjalan tanpa adanya aksiden yang bisa menimpa ibn Maktum.
Dan seperti kebiasaan pembesar dan bangsawan Quraish bahwa pergaulan dan persahabatan hanyalah milik mereka yang sederajat dan adanya ikatan kekeluargaan. Bukan milik yang lain. Orang seperti ibn Maktum, jangankan bisa duduk dan berbicara bersama dengan mereka untuk mendekatpun adalah sesuatu yang hampir mustahil terjadi pada saat itu.
Kini kita bisa menguji dengan asumsi yang terakhir bahwa pertemuan antara Pembesar-pembesar kafir Quraish dengan Nabi belangsung di kediaman beliau.
Rumah dan kediaman Muhammad Rasulullah adalah rumah tempat persinggahan dan sekaligus tempat di mana kaum mustazdafin mendapatkan perlindungan dan pertolongan. Di rumah inilah Nabi biasa menjamu dan menerangkan akan misi kenabiannya, kepada siapa saja yang hatinya diketuk oleh suara keimanan, sehingga orang semacam ibn Maktum mendapatkan harapan hidup dan kepercayaan diri, dan di rumah ini jugalah Nabi senantiasa mengulang-ulang ucapannya, bahwa sesungguhnya manusia datang dari asal yang sama dan memiliki martabat yang sama pula di hadapan Tuhannya, dan bahwa kejahatan, penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan adalah musuh utama dari ajaran sucinya. Dan di tempat ini jugalah sekelompok kaum mustazdafin menyadari akan semua itu dan meneguhkannya dengan kalimat Tauhid, beriman dan berjanji untuk saling menolong di antara mereka. Nabi kini benar-benar telah menyalakan cahaya keimanan dan kemanusiaan ditengah-tengah kehancuran hati merkeka.
Benar adanya bahwa rumah Nabi telah sering menjadi tempat berkumpul dan persinggahan buat mereka yang mencari perlindungan keimanan, terutama dari kalangan mustazdafin, sebagai pihak yang senantiasa dirugikan oleh sistem Paganisme Arab Quraish. Tentunya orang seperti ibn Maktum bisa lebih leluasa untuk mendatangi rumah seperti itu. Nah! pada saat pertemuan sedang berlangsung antara Nabi dan Pembesar-pembesar Quraish itulah ibn Maktum datang bergabung dengan mereka, keadaan tiba-tiba seperti ini merisaukan dan membuat Bangsawan Quraish tak mampu untuk mengelaknya, sampai pada situasi di mana mereka masih juga bisa menahan dan menyembunyikan rasa kesalnya. Namun ketika ibn Maktum menyela mereka yang sedang terlibat pembicaraan itu, benar-benar membuat salah seorang dari mereka itu tak lagi bisa menyembunyika rasa sakit hatinya dan dengan raut wajah yang masam dan cemberut memalingkan mukanya dari forum atau mungkin dari tatapannya yang selama beberapa saat ini memang ditujukan pada orang yang sedari tadi memang tidak diharap kehadirannya itu. Lalu Mengapa mereka tidak juga mengusir ibn Maktum seperti yang biasa mereka lakukan ketika ada fakir yang datang mendekati mereka. Kali ini mereka lagi-lagi tak bisa berbuat apa-apa karena sang tuan rumah Nabi sendiri tidak mengambil tindakan apapun semisal mengusirnya, jelas mereka sadari bersama bahwa sikap seperti itu mustahil dilakukan oleh Muhammad Rasulullah. dengan kata lain bahwa otoritas dan kekuasaan mendatangkan dan mengusir orang asing yang datang ke rumah seseorang adalah menjadi hak penuh dari pemilik rumah itu sendiri. Nah kini mereka hanya bisa bermuka masam dan memalingkan mukanya.[] Wallahua’lam bi sawwab
Oleh: Shaleh Andishmand
Prof Shihab menolak argumen yang kedua, dan dengan hati-hati beliau meyakinkan pendapatnya dengan mengurai dan menyandarkannya pada faktor tempat perkara dan situasi serta budaya arab pada saat itu. dan menetapkan dengan tegas bahwa bahwa surat yang turun pada saat itu tidak lain ditujukan kepada pribadi Nabi sendiri. Yang masih menurut Ustad Shihab apa yang dilakukan oleh Nabi dengan bermuka masam dan kemudian memalingkan wajahnya dari ibn Maktum yang hadir pada saat sedang menjamu para pemuka kafir Quraish adalah sikap yang wajar dan paling toleran untuk ukuran sosial pada saat itu.
Seperti yang ditulis oleh para sejarawan, bahwa sejarah masa lalu umat manusia senantiasa diliputi oleh pelbagai tragedi kemanusiaan, penindasan, kekerasan dan ketidakadilan yang mewarnai sederet epos sejarah peradaban masa itu, yang warisan dan jejaknya masih bisa kita lihat dan kita rasakan hingga hari ini.
Zaman tersebut di atas benar-benar pernah terjadi bahkan dengan modelnya yang paling extrem yang terjadi di zaman gelap jahiliyah, dimana Nabi pernah hidup di dalamnya. Kondisi begitu buruknya sehingga kelas-kelas penguasa dari bangsawan kafir Quraish dengan seenaknya tanpa kontrol apapun melakukan penindasan, merampas dan menghancurkan kehormatan mereka, sehingga kelas masyarakat yang kemudian lebih kita kenal sebagai kaum Mustazdafin dan kalangan budak itu merasakan kehidupan yang paling menyengsarakan dan penuh penderitaan.
Hubungan antara kaum kaya bangsawan dan kalangan miskin membentuk semacam dua kutub yang pada akhirnya melahirkan hubungan tuan dan budak. Budak praktis kehilangan seluruh identitas dirinya yang tidak lain mereka adalah milik dan dimiliki sepenuhnya oleh tuan-tuan mereka, diri mereka kini menjadi milik majikannya.
Seperti yang juga ditulis oleh Prof Shihab, bahwa keadaan yang demikian melazimkan lahirnya sebuah hubungan yang khas antara rakyat dan kaum Mustazdafin di satu pihak dan Bangsawan Quraish di pihak yang lain, sehingga garis pembatas di antara keduanya semakin menganga lebar dan memungkinkan Pembesar-pembesar Kafir Quraish untuk senantiasa mengelola kejahatan dan kesewenangan mereka dengan pelbagai cara yang menjauhkan mereka dari adanya pihak yang mampu mengontrol kebiadaban mereka. Kenyataan tersebut meniscayakan sulitnya mereka untuk dapat berbaur bersama dengan kaum papa tersebut, sulit rasanya kita bisa merindukan mereka duduk bersama di atas permadani dan alas yang sama pula, sebuah mimpi di siang bolong!
Ustad Quraish dengan jernih melihat kenyataan di atas untuk menilik sebuah turunnya surat, dan kali ini adalah sebuah surat yang terus menerus menjadi silang pendapat di kalangan kaum muslimin yaitu surat Abasa watawalla, yang pada sebagian mufasirin melihat turunnya surat tersebut berkaitan dengan Abdullah ibn Ummi Maktum seorang Mustazdafin Mekah yang buta kedua matanya, yang datang untuk menghadiri acara khusus, yaitu pertemuan antara Rasul dan Pembesar-pembesar Quraish, mereka beranggapan bahwa kejadian di atas membuat Nabi gerah karena terjadi justru ketika pembicaraan sedang berlangsung dan tiba-tiba ibn Maktum melontarkan serangkaian pertanyaan, dan diyakini oleh mereka bahwa atas kelancangan ibn Maktum itulah Nabi kemudian tidak bisa menyembunyikan kekesalannya dengan raut muka yang masam kemudian memalingkan wajahnya. Pertanda bahwa Rasul Muhammad saw tidak menyukai peristiwa yang baru saja dialaminya tersebut.
Sementara sebagian Mufasirin yang lain menisbatkan bahwa ditegurnya seseorang pada peristiwa tersebut oleh Allah swt dalam suratnya adalah orang lain yang menjadi lawan bicara Nabi pada saat itu.
Prof Shihab menolak argumen yang kedua, dan dengan hati-hati beliau meyakinkan pendapatnya dengan mengurai dan menyandarkannya pada faktor tempat perkara dan situasi serta budaya arab pada saat itu. dan menetapkan dengan tegas bahwa bahwa surat yang turun pada saat itu tidak lain ditujukan kepada pribadi Nabi sendiri. Yang masih menurut Ustad Shihab apa yang dilakukan oleh Nabi dengan bermuka masam dan kemudian memalingkan wajahnya dari ibn Maktum yang hadir pada saat sedang menjamu para pemuka kafir Quraish adalah sikap yang wajar dan paling toleran untuk ukuran sosial pada saat itu.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sebuah rangkaian peristiwa adalah sejarah kehidupan manusia pada masa lalu, yang diceritakan dan di distribusikan dengan pelbagai cara dan utamanya adalah melalui media tulis, namun sering kali kita dapati bahwa seting sejarah yang disuguhkannya tidak mampu memberikan gambaran yang utuh atas peristiwa yang benar-benar terjadi, apalagi bias dan faktor-faktor internal lainnya sering kali ikut serta mempengaruhi hasil yang hendak dikhabarkan.
Namun demikian dengan berbekal pada pandangan ilmiah yang lebih akurat, akan memberikan kepada kita sebuah celah yang lebih tajam untuk melacak jalannya sebuah sejarah yang terjadi pada masa lalu, dan melakukan rekonstruksi terhadap detail peristiwa yang belum terungkap dengan jelas. Alat ukur tersebut mendorong kita untuk kemudian secara konsisten penjauhan obyek kajian pada posisi yang aman, dan membiarkan sejarah itu sendiri yang “berbicara”, dengan demikian kita akan mampu mendapati alur kisah yang mendekati kenyataan yang sebenarnya.
Kembali pada apa yang ditulis oleh Prof Shihab bahwa peristiwa asbabun-nuzul dari turunnya surat Abasa ditujukan langsung kepada pribadi Muhammad saw dan bukan yang lain.
Mengacu pada apa yang telah dipaparkannya pada tafsir beliau berkaitan dengan turunnya surat Abasa tersebut, kita akan mencoba untuk melakukan analisis dengan mendekati kejadian perkara untuk memudahkan kita dalam menentukan dengan persis siapa sebenarnya orang yang ditegur dalam surat Abasa tersebut.
Setidaknya kita memiliki tiga asumsi dan kemungkinan, yang akan kita uji bersama di mana sesungguhnya peristiwa pertemuan antara Nabi Muhammad dan pembesar-pembesar suku Quraish itu berlangsung, dan turunnya ayat Abasa watawalla tersebut. Menilik tempat kejadian perkara menjadi model yang menurut hemat saya adalah sebuah cara pendekatan yang paling memungkinkan untuk menelusuri dan kemudian memetakan dengan tepat berlangsungnya sebuah peristiwa.
Asumsi yang pertama adalah, bahwa pertemuan itu berlangsung di sebuah tempat atau aula umum yang biasa menjadi tempat di mana khalayak biasa bertemu dan memutuskan perkara-perkara mereka, aula semacam itu setidaknya mensyaratkan sebuah model bangunan yang relatif mudah untuk bisa dijangkau dan dimasuki oleh banyak orang, sehingga apa-apa yang terjadi di dalamnya akan mudah diakses dan diketahui secara langsung oleh kebanyakan orang. Agaknya tempat semacam ini kurang cocok untuk pertemuan kali ini, karena sudah berkali-kali tempat yang demikian justru menjadi lahan yang empuk buat Nabi untuk menyampaikan gagasan-gagasannya dan seruan tauhidnya, dan sekaligus untuk membuktikan kebohongan-kebohongan agama pagan kafir Quraish. Dan tentu saja kondisi yang demikian sama sekali tidak diharapkan oleh pembesar-pembesar Quraish, masih segar dalam ingatan mereka bagaimana Nabi memanfaatkan ruang publik semacam Ka’bah menjadi sarana menyuarakan misi langitnya, dan itu sudah cukup untuk mengundamg simpati banyak orang. dan kondisi yang demikian akan berakibat buruk untuk posisi dan kedudukan mereka ditengah-tengah masyarakat. Dan seandainya peristiwa tersebut benar-benar terjadi di tempat semacam itu, tentunya ibn Maktum tidak akan tampil sendirian dan akan diikuti oleh kalangan mustazdafin lainnya, untuk melihat dari dekat Nabinya berargumen dan membuktikan kebenaran akan misinya.
Jika pada saat itu ibn Maktum menyela pembicaraan mereka dengan melontarkan pertanyaan perihal dirinya kepada Nabi, dan Nabi kemudian menanggapinya dengan muka yang cemberut dan segera memalingkan wajahnya, tentunya aksi yang demikian akan menjadikan posisi Nabi sangat berbahaya yang jauh dari akhlak mulia yang selama ini beliau kemukakan di banyak kesempatan dan kepada siapa pun, dengan mengatakan hahwa akhlak mulia adalah hiasan kaum beriman, dan inilah sikap yang menjadikan pesona Nabi luar biasa ditengah-tengah masyarakat yang bengis dan jauh dari nilai-nilai mulia. Dan jika benar bahwa Nabi bermuka masam, keadaan demikian akan membuat rasa frustasi pengikut beliau yang hadir pada saat itu karena kini tak ada lagi Nabi yang santun dan ramah yang bisa menghargai harga dirinya di depan pembesar-pembesar Quraish. Sementara pada pihak kafir Quraish bahwa berkumpul di satu tempat dengan para mustazdafin untuk acara sepenting itu adalah bukan pilihan yang tepat, mengingat kehormatan dan harga diri mereka sedang dipertaruhkan pada saat itu.
Dengan kata lain kejadian dan berlangsungnya acara tersebut menjadi sangat kecil kemungkinannya jika berlangsung di tempat seperti itu, kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin terjadi.
Asumsi yang berikut adalah bahwa pertemuan diselenggarakan di salah satu rumah dari Pembesar Quraish. Kalau sedikit kita renungkan dan kemudian membayangkan bentuk dari arsitektur rumah para pembesar Quraish saat itu, tentunya akan kita dapati bahwa rumah yang mereka tempati akan dibangun sedemikian rupa sehingga tidak mudah orang asing begitu saja bisa memasuki pelataran dan rumah mereka. Penjagaan dan pengawalan ketat dari para budak mereka rasanya sudah cukup untuk bisa menghalau orang seperti ibn Maktum.
Andaikan peristiwa itu memang benar-benar terjadi di salah satu dari rumah mereka, di butuhkan upaya yang cukup besar buat ibn Maktum untuk bisa sekonyong-konyong hadir di tengah-tengah mereka dikala Kafir Quraish dan Nabi sedang terlibat pembicaraan sepenting itu. kecil kemungkinannya kejadian tersebut berjalan tanpa adanya aksiden yang bisa menimpa ibn Maktum.
Dan seperti kebiasaan pembesar dan bangsawan Quraish bahwa pergaulan dan persahabatan hanyalah milik mereka yang sederajat dan adanya ikatan kekeluargaan. Bukan milik yang lain. Orang seperti ibn Maktum, jangankan bisa duduk dan berbicara bersama dengan mereka untuk mendekatpun adalah sesuatu yang hampir mustahil terjadi pada saat itu.
Kini kita bisa menguji dengan asumsi yang terakhir bahwa pertemuan antara Pembesar-pembesar kafir Quraish dengan Nabi belangsung di kediaman beliau.
Rumah dan kediaman Muhammad Rasulullah adalah rumah tempat persinggahan dan sekaligus tempat di mana kaum mustazdafin mendapatkan perlindungan dan pertolongan. Di rumah inilah Nabi biasa menjamu dan menerangkan akan misi kenabiannya, kepada siapa saja yang hatinya diketuk oleh suara keimanan, sehingga orang semacam ibn Maktum mendapatkan harapan hidup dan kepercayaan diri, dan di rumah ini jugalah Nabi senantiasa mengulang-ulang ucapannya, bahwa sesungguhnya manusia datang dari asal yang sama dan memiliki martabat yang sama pula di hadapan Tuhannya, dan bahwa kejahatan, penindasan, diskriminasi dan ketidakadilan adalah musuh utama dari ajaran sucinya. Dan di tempat ini jugalah sekelompok kaum mustazdafin menyadari akan semua itu dan meneguhkannya dengan kalimat Tauhid, beriman dan berjanji untuk saling menolong di antara mereka. Nabi kini benar-benar telah menyalakan cahaya keimanan dan kemanusiaan ditengah-tengah kehancuran hati merkeka.
Benar adanya bahwa rumah Nabi telah sering menjadi tempat berkumpul dan persinggahan buat mereka yang mencari perlindungan keimanan, terutama dari kalangan mustazdafin, sebagai pihak yang senantiasa dirugikan oleh sistem Paganisme Arab Quraish. Tentunya orang seperti ibn Maktum bisa lebih leluasa untuk mendatangi rumah seperti itu. Nah! pada saat pertemuan sedang berlangsung antara Nabi dan Pembesar-pembesar Quraish itulah ibn Maktum datang bergabung dengan mereka, keadaan tiba-tiba seperti ini merisaukan dan membuat Bangsawan Quraish tak mampu untuk mengelaknya, sampai pada situasi di mana mereka masih juga bisa menahan dan menyembunyikan rasa kesalnya. Namun ketika ibn Maktum menyela mereka yang sedang terlibat pembicaraan itu, benar-benar membuat salah seorang dari mereka itu tak lagi bisa menyembunyika rasa sakit hatinya dan dengan raut wajah yang masam dan cemberut memalingkan mukanya dari forum atau mungkin dari tatapannya yang selama beberapa saat ini memang ditujukan pada orang yang sedari tadi memang tidak diharap kehadirannya itu. Lalu Mengapa mereka tidak juga mengusir ibn Maktum seperti yang biasa mereka lakukan ketika ada fakir yang datang mendekati mereka. Kali ini mereka lagi-lagi tak bisa berbuat apa-apa karena sang tuan rumah Nabi sendiri tidak mengambil tindakan apapun semisal mengusirnya, jelas mereka sadari bersama bahwa sikap seperti itu mustahil dilakukan oleh Muhammad Rasulullah. dengan kata lain bahwa otoritas dan kekuasaan mendatangkan dan mengusir orang asing yang datang ke rumah seseorang adalah menjadi hak penuh dari pemilik rumah itu sendiri. Nah kini mereka hanya bisa bermuka masam dan memalingkan mukanya.[] Wallahua’lam bi sawwab
0 comments
Post a Comment
IF YOU LIKE THIS ARTICLE, PLEASE SHARE OR LEAVE YOUR COMMENT ..