A.
Unsur
Kesetaraan Gender dan Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah berusia
37 tahun. Dalam rentang waktu yang sedemikian lama dan panjang, ada tuntutan
persamaan hak antara hak laki-laki dan perempuan yang terus menerus
diperjuangkan di Indonesia. Dalam hukum adat seorang perempuan tidak mempunyai
posisi tawar menawar yang kuat. Simbol-simbol yang ada melambangkan perempuan
menjadi “pelayan/mengabdi pada suami”. Agama Hindu juga menentukan syarat dan
sahnya perkawinan untuk memperoleh anak. Dalam agama Budha perbedaan jender
secara tegas terdapat pada ikrar isteri yang baik, setia, mengabdi pada suami
dalam susah dan senang,serta taat pada petunjuk-petunjuk suami untuk menjadi
ibu yang baik. Agama Kristen Protestan mengikuti hukum Negara untuk sahnya
perkawinan.
Salah satu kebijakan negara adalah
dirumuskannya kesetaraan gender dalam bidang hukum. Namun, dalam kenyataannya
hukum perkawinan belum memberikan kesetaraan jender, sehingga merugikan perempuan.
Tidak jarang kita menjumpai perkawinan yang berakhir dengan perceraian. Banyak
faktor yang dapat menjadi penyebab bagi keretakan suatu rumah tangga, seperti
tidak adanya keturunan (anak), ketidak cocokan satu dengan lainnya,
perselingkuhan, masalah ekonomi, kekerasan yang dilakukan salah satu pihak
kepada pihak lainnya, dan lain-lain. Salah satu penyebab perceraian, yaitu
kekerasan satu pihak kepada pihak lain, cukup banyak kita temui dalam
lingkungan sekitar kita.
Hasil Susenas 2006 yang dilakukan oleh
BPS bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak menyebutkan bahwa prevalensinasional perempuan yang menjadi
korban adalah 3,07 % dan anak 3, 02 %. Hal ini berarti bahwa dari 10.000
perempuan di seluruh Indonesia, sebanyak 307 diantaranya pernah mengalami
kekerasan dan dari 10.000 anak di seluruh Indonesia 302 anak diantaranya pernah
mengalami kekerasan. Angka prevalensi tertinggi dari seluruh daerah adalah
Provinsi Papua dengan angka 13,6 %. Hal yang lebih memprihatinkan adalah
kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak tersebut adalah kekerasan dalam
rumah tangga, dalam sebuah kehidupan perkawinan [5].
Kondisi ini juga didukung oleh Catatan
Tahunan Komnas Perempuan 2009 yang menyebutkan bahwa 95% kasus kekerasan
terjadi dalam rumah tangga. Komnas perempuan dalam laporan mereka menyebutkan
bahwa peningkatan kasus kekerasan yang mencapai 263% tersebut di data dari
Pengadilan Agama yang selama ini mengurus perceraian perkawinan di Indonesia
[6]. Berdasarkan hasil laporan juga disebutkan bahwa masalah kekerasan dalam
rumahtangga yang terjadi terkait erat dengan masalah legalitas perkawinan
dankurangnya pemahaman perempuan tentang hak-hak mereka dalam sebuah
perkawinan.
Di lain pihak, dalam kurun waktu tersebut
Pemerintah Indonesia bertransformasi menuju negara yang menjungjung hak asasi
manusia (HAM). Hal ini bisa dilihat dari Naskah Perubahan Kedua Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 yang memuat ketentuan hak asasi
manusia. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebenarnya berasal
darirumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan yang sudah diadopsikan
ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan elemen baru yang bersifat
menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga
mencakupketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka rumusan
hakasasi manusia dalam Undang-Undang Dasar dapat mencakup empat kelompok materi
yaitu: [7]
a).
kelompok hak-hak sipil;
b).
kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya;
c).
kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan; dan d). tanggungjawabnegara
dan asasi manusia.
Selain itu, Pemerintah Indonesia telah
meratifikasi berbagai instrumen hakasasi manusia, seperti meratifikasi
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination agaisnt Women
(CEDAW, 1979), melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination agaisnt Women), Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), Undang-Undang
Nomor11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic,
Socialand Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial,dan Budaya) dan lain-lain.
B.
Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Sebagai Upaya Penghormatan, Pemajuan,
Pemenuhan, Perlindungan, dan Penegakan Hak AsasiManusia
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM)
adalah rencana aksi yang disusun sebagai pedoman pelaksanaan penghormatan,
pemajuan, pemenuhan, perlindungan, dan penegakan HAM diIndonesia. [8]
RANHAM merupakan komitmen negara
Republik Indonesia yang bertujuan memperkuat sistem hokum nasional sekaligus
dalam rangka penghormatan, pamajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM baik di
pusat maupun daerah di seluruh Indonesia dengan memperhatikan aspek pluralisme
dan multikulturisme.
RANHAM merupakan produk politik HAM
Negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan HAM bagi setiap orang yang
ada di Indonesia oleh para penyelenggara kekuasaan Negara untuk menjalankan
tugas untuk mengabdi kepada masyarakat dengan berorientasi pada HAM, serta
dengan membangun kerja sama yang sinergistik antar lembaga pemerintah dengan
masyarakat madani.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun
2011 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2011-2014
terdapat 7 (tujuh) Program utama yaitu:
1). pembentukan dan penguatan institusi
pelaksanaRANHAM;
2). persiapan pengesahaninstrumen HAM
Internasional;
3). harmonisasi rancangan dan evaluasi
peraturanperundang-undangan;
4). pendidikan HAM;
5). penerapan norma dan standar HAM;
6). pelayanan komunikasi masyarakat; dan
7). pemantauan, evaluasi dan pelaporan.
Salah satu kegiatan RANHAM Indonesia
Tahun 2011-2014 adalah hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan yang masuk
dalam program penerapan norma dan standar HAM. Permasalahan kegiatan ini adalah
masih banyaknya perkawinan yang belum dicatatkan pada kantor pencatatan
perkawinan yang mengakibatkan istri dananaknya tidak mendapatkan perlindungan
hukum. Rencana aksinya adalah: 1).Sosialisasi tentang perkawinan berdasarkan
peraturan perundang-undangan; 2).Pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi yang
perkawinannya belum dicatatkan; dan3). Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
0 comments
Post a Comment
IF YOU LIKE THIS ARTICLE, PLEASE SHARE OR LEAVE YOUR COMMENT ..