PENDAHULUAN
Segala
puji bagi Allah SWT, tuhan semesta alam yang telah memberikan karunia, rahmat,
hidayah dan inayah-NYA kepada kita semua, sehingga dapat menyelesiakan makalah
ini. Dalam makalah ini menjelaskan tentang kritik KH. Abdurrahman Wahid (gus
dur) dalam soal Islam kaitannya dangan masalah sosial dan budaya. Ia menangkap
adanya gejala “arabisasi” dikalangan masyarakat Islam. Kritik tersebut
diungkapkan gus dur sekitar tahun 1980-an. Gus Dur selanjutnya menawarkan
gagasan “Pribumisasi Islam” sebagai solusi untuk memahami Islam dalam relasinya
dengan masalah-masalah sosial dan budaya.
Menurut
Gus Dur, adannya Islamisasi merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri
ketika ‘kemajuan barat’ yang sekuler. Jalan satu-satunya adalah dengan
mensubordinasi diri kedalam konstruk Arabisasi yang diyakini sebagai langkah
kearah Islamisasi. Padahal seperti sering dikatakan Gus Dur, Arabisasi bukanlah
Islamisasi.
Oleh
karena itu, makalah ini menjelaskan mengenai “Metodologi Pemikiran KH.
Abdurrahman Wahid Tehadap Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia” sebagai
bahan kajian ulang dalam berijtihad didalam era globalisasi ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Tidak seperti para pembaru hukum Islam lainnya, metodologi ijtihad
hukum Islam Gus Dur nyaris tidak dapat ditemukan dalam buku yang secara
spesifik membahasnya. Bahkan hal ini juga terjadi pada para intelektual Islam
lainnya yang tergolong kaum modernis awal yaitu antara 1970-an sampai 1980-an.[1]
Menurut Marzuki Wahid, anggapan
seperti ini tidak dapat disalahkan, sebab perhatian mereka sendiri yang memaksa
demikian untuk menyikapi realitas sosial, politik, dan ekonomi ketika Orde Baru
secara sistematis dan terus- menerus malakukan intervensi secara berlebihan
terhadap umat Islam dan bentuk -bentuk pengamalan keagamaannya. Oleh karena
itu, menurut Wahid, aspek metodologis dan substansi ajaran Islam atau
sumber-sumber pengambilannya yang selama ini disakralkan tidak terjamah oleh
pembaruan mereka. Kalaupun masuk, lanjut Wahid, mereka berhenti pada kritik
bangunan (sejarah) pemikiran Islam masa lampau tanpa memberikan tawaran baru
yang berarti. Isu-isu yang menjadi label pemikiran mereka tidak dilengkapi
dengan kerangka metodologi dan epistemologi yang cukup
atau belum tuntas. Mareka, sejauh
ini, hanya mengadvokasi betapa pentingnya kontekstualisasi, reaktualisasi,
reinterpretasi, dan pribumisasi maupun tema sejenis (sebagai pendekatan ijtihad),
tanpa memberikan bukti contoh (rekonstruksi) pemikiran Islam baru seperti apa
yang tepat untuk zaman ini.[2]
Namun demikian, pendekatan ijtihad oleh sarjana-sarjana Indonesia ini dianggap
lebih mendalam, karena mereka mengawinkan keserjanaan Islam klasik dengan
metode-metode analitik modern Barat.[3]
Namun demikian, bukan berarti hal tersebut tidak dapat dilacak secara
keseluruhan. Sebab, dalam kaitannya dengan bangunan metodologi ijtihad hukum
Islam Gus Dur, menurut penyusun, banyak sekali tertuang dalam berbagai artikel
ataupun tulisan-tulisan dalam bentuk lain. Dalam melaksanakan pembaruan hukum
Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman, akurat dan faktual, pada hasil
pelacakan terhadap ijtihad Gus Dur, dia menggunakan dua metode ijtihad, yaitu
sebagai berikut:
1. Metode Istislahi
Dari segi metodologi pembaruan hukum Islam,
Menurut John L. Esposito, seringkali pembaharuan dilakukan melalui metode Istislāh
dan Adat atau ‘Urf. Keduanya dipandang paling sesuai, karena memberikan
kesempatan yang luas untuk berijtihad dan dengan jelas menekankan pada tujuan
hukum Islam itu sendiri, yaitu keadilan dan kemaslahatan.[4]
Istislāh dapat disebut juga
dengan al-maslahah al-mursalah yang berarti kemaslahatan yang terlepas.
Said Ramadhan al-Buthi berpandangan bahwa al-maslahah al-mursalah adalah
setiap manfaat yang termasuk dalam maqāsid al-syari’, baik ada nash yang
mengakui maupun menolaknya.[5]
Dan Abu Zahrah mendefinisikan al-maslahah al-mursalah dengan
kemaslahatan yang sejalan dengan maksud syari’, tetapi tidak ada nash
secara khusus yang memerintahkan dan melarangnya.[6]
Sementara al-Ghazali menyatakan bahwa al-maslahah adalah mengambil
manfaat dan menolak mudarat dalam rangka memelihara tujuan syara’ (al-kulliyāt
al-khams).[7]
Dari beberapa definisi tersebut di atas, maka dapat ditegaskan bahwa istislāh
merupakan kemaslahatan yang sejalan dengan apa yang terdapat dalam nash,
meskipun secara khusus nash tidak memerintahkan atau melarangnya. Atau dapat juga
diartikan sebagai penetapan hukum suatu masalah yang semata-mata berdasarkan
pertimbangan maslahat dan menolak mafsadat bagi kehidupan umat
manusia. Dengan demikian, maka Ijtihad Istislāhi dapat didefinisikan
dengan mencurahkan segala kemampuan untuk menentukan hukum berbagai masalah
baru yang didasarkan pada kemaslahatan yang tidak disebutkan secara tegas dalam
nash.
Dalam pandangan Yusuf al-Qardhawi, ijtihad istislāhi merupakan
istilah lain dari ijtihad kontemporer yang merupakan hasil gabungan dari ijtihad
intiqā’i, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menyeleksi pendapat
ulama terdahulu yang dipandang lebih sesuai dan lebih kuat; dan ijtihad
insyā’i, yaitu mengambil konklusi hukum baru dalam suatu permasalahan, di
mana permasalahan tersebut baik baru maupun lama belum pernah dikemukakan oleh
ulama terdahulu. Sehingga makna gabungan ijtihad intiqā’i dan ijtihad
insyā’i adalah menyeleksi pendapat para ulama terdahulu yang dianggap
sesuai dan lebih kuat, dengan memasukkan unsur-unsur ijtihad baru.[8]
Ada empat faktor yang menjadi tujuan dan pendorong bagi
para fuqaha menggunakan metode istislāh dalam menetapkan hukum baru
sesuai dengan perintah syara’ sehingga akan terwujud hasil yang terbaik dalam
rangka memperbarui hukum-hukum sosial, sebagaimana disebutkan oleh al-Zarqa’,[9] Keempat faktor tersebut
adalah :
a. Jalb al-masālih
(menarik maslahat), yaitu perkara-perkara yang diperlukan masyarakat dalam
membangun kehidupan manusia di atas pondasi yang kokoh.
b. Dar al-mafāsid (menolak
mafsadat), yaitu perkara-perkara yang memadaratkan manusia baik secara individu
maupun kelompok, baik berupa materi maupun moral.
c. Sadd al-zarā’i (menutup
jalan), yaitu menutup jalan yang dapat membawa kepada menyia-nyiakan perintah
syara’ dan memanipulasinya, atau dapat membawa kepada larangan syara’ meskipun
tanpa disengaja.
d. Tagayyur al-azmān (perubahan
zaman), yaitu kondisi manusia, akhlak-akhlak, dan tuntutan-tuntutan umum yang
berbeda dari masa sebelumnya.
Pada dasarnya mayoritas ahli usul fiqih menerima metode maslahāt
mursalāt atau istislāh. Untuk menggunakan metode tersebut mereka
memberikan beberapa syarat. Imam Malik memberikan persyaratan sebagai berikut:[10]
a. Maslahat tersebut bersifat reasonable
(masuk akal) dan relevan (munāsib) dengan kasus hukum yang
ditetapkan.
b. Maslahat tersebut harus bertujuan
memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkan kesulitan (rad’u
al-harāj), dengan cara menghilangkan masyaqqāt dan madharrāt.
c. Maslahat tersebut harus sesuai
dengan maksud disyari’atkan hukum (maqāshid al-syarī’ah) dan tidak
bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i.
Sementara itu Al Ghazali menetapkan beberapa syarat agar maslahat dapat
dijadikan sebagai penemuan hukum.[11]
1. Kemaslahatan itu masuk kategori peringkat daruriyyāt.
Artinya bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus
diperhatikan, apakah akan sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok maslahat
atau belum sampai pada batas tersebut.
2. Kemaslahatan itu bersifat qath’i,
artinya yang dimaksud dengan maslahat tersebut benar-benar telah diyakini
sebagai maslahat tidak didasarkan pada dugaan (zhān) semata-mata.
3. Kemaslahatan itu bersifat kullī,
artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif, tidak bersifat
individual. Apabila maslahat itu bersifat individual maka syarat lain yang
harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan maqāshid al-syarī’ah.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislāh
itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam
Al-Quran maupun Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui
suatu i’tibār. Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya
ijmā’ atau qiyās yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Hukum
yang ditetapkan dengan istislāhi seperti pembukuan Al Quran dalam satu
mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga. Hal itu tidak
dijelaskan oleh nash dan ijmā’, melainkan didasarkan atas maslahat yang
sejalan dengan kehendak syara’ untuk mencegah kemungkinan timbulnya
perselisihan umat tentang Al-Quran.[12]
Dalam hubungannya dengan
legislasi Al-Qur’an, yang dalam metodologi Arab biasanya digunakan istilah tasyrī’
yaitu pernyataan Al-Qur’an yang bermuatan hukum. Dalam pandangan Gus Dur,
meskipun Al-Qur’an mengandung beberapa pernyataan aturan hukum yang penting,
tetapi menurutnya hal itu hanya seruan moral saja, bukan sebuah kitab dokumen
hukum. Oleh karena itu, legislasi Al-Qur’an dapat diamati secara jelas menuju
seruan moral tersebut, yaitu menuju terciptanya keadilan sosial bagi
masyarakat.[13]
Gus Dur berusaha menciptakan dan membuktikan pesannya itu dengan sejumlah
legislasi dalam Al-Qur’an dalam bidang perkawinan, riba, zakat, hukum
perbudakan (slavery) yang banyak menghiasi Al-Qur’an dan Hadis.[14]
Dan beberapa bidang lainnya yang semua bertujuan untuk mengangkat derajat
manusia menuju terwujudnya kondisi yang lebih baik dan menciptakan persamaan
esensial derajat manusia sebagaimana merekat pada doktrin Aswaja (Ahlussunnah
wal jamā’ah).[15]
Menurut pandangan KH. Abdurrahman Wahid, orientasi paham ke-Islaman
sebenarnya adalah
kepentingan orang kecil dalam hampir seluruh persoalan. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan memahami secara mendalam kedudukan maslahah al-’āmmah yang
berarti kesejahteraan umum dalam Islam. Wahid melanjutkan, hal tersebut
seharusnya yang menjadi objek segala macam tindakan yang diambil oleh seorang
ulama atau pemirintah.
Dalam masalah fiqih, terkait hal di atas, Gus Dur memandang bahwa dalam
fiqih selalu dikemukakan keharusan seorang pemimpin mementingkan kesejahteraan
rakyat, sebagai tugas yang harus dilaksanakan.[16]
Hal tersebut sebagaimana dinyatakan dalam kaidah:
تصرّف الإمام على الرّعيّة منوط باالمصلحة
“Tindakan Imam terhadap rakyatnya harus didasarkan pada
kemaslahatan”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam Islam tujuan berkuasa bukanlah
kekuasaan itu sendiri melainkan kemaslahatan (maslahah al’ammah).[17]
Dengan demikian, menurutnya, tingginya kesejahteraan suatu bangsa menjadi
sesuatu yang sangat esensial dalam Islam.
Adapun yang
tidak terkait langsung dengan kepentingan orang banyak dapat dilihat dalam
adagium lain yaitu:
درأ المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menghindarkan
kesusahan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntungan/kebaikan”.
Menurut Gus Dur, hal tersebut mengandung pengetian bahwa menghindari
hal-hal yang merusak umat lebih diutamakan atas upaya membawakan kebaikan bagi
mereka. Dengan demikian, menurut Gus Dur, menghindari kerusakan dianggap lebih
berarti dari pada mendatangkan kebaikan.[18]
Sebab, lanjut Gus Dur, adagium inilah yang digunakan Gus Dur dalam menerima
pencalonan dirinya oleh Amin Rais sebagai Presiden beberapa tahun yang silam.
Sebab, keduanya meyakini bahwa bangsa ini pada saat itu belum dapat menerima
seorang wanita (Megawati) sebagai Presiden, sehingga dikhawatirkan akan terjadi
perang saudara.
Metodologi pemikiran Gus Dur sebagaimana telah disebutkan di atas adalah
identik dengan konsep pemikiran para ahli ushul fiqh yang terdapat dalam
beberapa kitab metodologi hukum Islam, yakni konsep tujuan penetapan hukum (al-maqāshid
al-syari’āt). Konsep ini tidak jauh berbeda dengan konsep pemikiran Gus Dur
tentang keadilan (al-‘adālah al-ijtimā’iah). Seluruh konsep-konsep
metodologi Gus Dur dirumuskan dalam dua upaya metodis yang masing-masing
terdiri dari serangkaian kerja intelektual.
Upaya pertama pada dasarnya merupakan perjalanan dari tiga pendekatan
pemahaman
pada penafsiran Al-Qur’an, yakni pendekatan historis,
pendekatan kontekstual, dan pendekatan sosiologi. Upaya pertama ini lebih
dukhususkan terhadap ayat-ayat hukum dengan metode berfikir induktif, yakni
berfikir dari aturan-aturan legal spesifik menuju kepada moral sosial, yang
bersifat umum yang terkandung di dalamnya.
Di sini (pendekatan pertama) terdapat dua “perangkat lunak” untuk dapat
menyimpulkan prinsip moral sosial, yaitu: pertama, perangkat ‘illat hukum
(ratio logis) dinyatakan oleh Al-Qur’an secara eksplisit, yang dapat
diketahui dengan cara menggeneralisasikan beberapa ungkapan spesifik. Kedua,
perangkat sosio historis, berfungsi untuk menguatkan ‘illat hukum
implisit untuk menetapkan arah tujuannya. Sedangkan upaya kedua merupakan upaya
perumusan prinsip-prinsip umum, nilai- nilai dan tujuan Al-Qur’an yang telah
disistematikan melalui upaya tadi terhadap situasi dan kasus aktual yang
terjadi sekarang.
2.
Pendekatan Sosio-Kultural
Interpretasi terhadap teks-teks agama (Al-Qur’an dan al-Hadis), bagi wacana
agama merupakan salah satu mekanisme -jika bukan yang terpenting- untuk melontarkan konsep-konsep
dan pandangan-pandangannya. Sedangkan interpretasi yang sesungguhnya adalah
yang menghasilkan makna teks, menuntut pengungkapan makna melalui analisis atas
berbagai level konteks. Namun wacana agama biasanya cenderung mengabaikan
keseluruhannya, demi memprotek pelacakan makna yang telah ditentukan sebelumnya.
Dalam pandangan Gus Dur, ajaran Islam senantiasa berubah melalui perubahan
zaman, dengan menggunakan cara tertentu. Di antara cara tertentu itu, adalah
penafsiran ulang (re-interpretasi) oleh kaum muslimin sendiri, atas
sesuatu yang tadinya diterima sebagai kebenaran tetap oleh mereka. “Kebenaran
relatif” itu lalu berubah dengan adanya penafsiran ulang itu.
Dalam pandangan Gus Dur, bahwa masih banyak penafsiran lain tentang hal tersebut
di atas. Dia melanjutkan,
di sinilah sangat terasa kegunaan sebuah adagium “perbedaan pendapat para
pemimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmatu al-ummah).
Menurutnya, kalau umat Islam berpegangan pada adagium ini, maka yang dilarang
hanyalah perpecahan dan pertentangan saja di antara kita. Sekarang, bila sebuah
hukum agama sudah ada dalam sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits (qath’iyah
al-tsubût), sementara keadaan membutuhkan penafsiran baru. Kemudian apakah
yang harus diterapkan dalam hal seperti itu? Dalam hal ini, kita menggunakan
sebuah kaidah hukum Islam (qa’idah al-fiqh), bahwa keadaan tertentu
dapat memaksakan sebuah larangan untuk dilaksanakan (al-dharûratu tubîhu
al-mahdhûrât).
Namun demikian, menurut Gus Dur, interpetasi yang dilakukan pada ‘ulama
kontemporer cenderung memiliki banyak kelemahan. Untuk memenuhi kelemahan yang
terdapat metode interpretasi sebagaimana dijelaskan tersebut, Gus Dur menggagas
suatu pendekatan yang disebut pendekatan sosio-kultural.
Pendekatan ini menurut Gus Dur
adalah sebagai alat pembantu dalam menunjukkan konteks sosial terkait penerapan
suatu hukum, yaitu dengan menganalisis aspek-aspek lokal yang dapat ditampilkan
dengan wajah yang ramah terhadap budaya lokal dan persoalan-persoalan
keIndonesiaan, khususnya problema pluralitas agama dan kepercayaan, yaitu
dengan cara menerapkan metode ushul fiqh dan al-qawā’id al-fiqhiyah
dalam memahami teks dan konteks.
Dengan kata lain, Gus Dur
menggunakan pendekatan sosio-kultural
ini
sebagai alat pembantu dalam menunjukkan konteks sosial terkait penerapan suatu
hukum. Hal ini bertujuan untuk memberikan perspektif
baru terhadap teks. Maksudnya, teks dipahami dari konteks dan sosio-kultural di
mana ia menjadikan manusia sebagai subjek penafsiran keagamaan. Hal ini
ditujukan untuk memperpendek jarak antara teks dan realitas.
Sangat terkenal dalam hal ini hukum agama (fiqh) mengenai Keluarga
Berencana (KB), yang bersifat rincian dan mengalami perubahan-perubahan. Adapun
polemik yang muncul adalah terkait penafsiran ulang atas ucapan
Rasulullah Saw yang artinya: “Maka Aku (akan) membanggakan kalian (di
hadapan) umat-umat (lain) pada hari kiamat (fainnî mubâhin bikum al-umam
yauma al-qiyâmah)”.
Dalam penafsiran lama, kaum muslim mengartikan kebanggaan beliau itu
bertalian dengan jumlah (kuantitas) kaum muslimin, hingga merekapun
memperbanyak jumlah anak. Tafsiran ulang yang baru, yang didukung
oleh kenyataan meluasnya program Keluarga Berencana (KB) di kalangan kaum
muslimin, minimal di negeri ini, menunjuk pada arti lain dari apa yang
dibanggakan itu: kebanggaan akan mutu (kualitas) kaum muslimin sendiri.
Dengan demikian, Islam dapat berkembang sesuai dengan perubahan tempat
dan waktu (Shālihun li kulli zamânin wa makânin).
Gus Dur lebih lanjut menjelaskan bahwa persoalan KB sebelumnya sama sekali
ditolak, padahal waktu itu ia adalah satu-satunya cara untuk membatasi
peningkatan jumlah penduduk. Dasarnya adalah program ini sebagai campur tangan
manusia dalam hak reproduksi manusia yang berada di tangan Tuhan sebagai Sang
Pencipta. Namun, kemudian manusia merumuskan upaya baru untuk merencanakan
kelahiran (tanzīm an-nasl atau family planning) sebagai ikhtiar
menentukan jumlah penduduk sebuah negara pada suatu waktu. Dengan demikian,
dipakailah cara-cara, alat-alat dan obat yang dapat dibenarkan oleh agama,
seperti pil KB, kondom dan sebagainya. Penggunaan metode dan alat-alat tersebut
sekarang ini, dilakukan karena ada penafsiran kembali ayat suci dalam upaya
mengurangi jumlah kenaikan penduduk dari pembatasan kelahiran (birth control)
ke perencanaan keluarga (family planning).
Contoh sederhana di atas, jelas menunjukkan bahwa menurut Gus Dur proses
penafsiran ulang tersebut merupakan upaya yang sangat penting. Tanpa kehadirannya
Islam akan menjadi agama yang mengalami “kemacetan”. Hal itu menyalahi
ketentuan agama itu sendiri yang tertuang dalam ucapan “Islam sesuai untuk
segenap tempat dan masa (al-Islâm yasluhu li kulli makânin wa zamânin).”
Lahirnya Teori
“Pribumisasi Islam” merupakan kritik terhadap cara berteologi yang berkembang
dikalangan intelektual muslim Indonesia, yang menurut Abdurrahman Wahid tidak
mampu menjawab akar persoalan kemiskinan yang lebih disebabkan oleh struktur
sosial dan politik yang timpang.
Untuk mengatasi
kebuntuan peran kritis agama tersebut, Abdurrahman Wahid mengkontruksikan
sebuah cara berteologi yang di satu sisi tetap berpijak pada ortodoksi dan di
sisi lain terkait denagan ortopraksis. Teologi ini melihat peran agama kepada
manusia dalam dua hal, yaitu teologi positif (amar ma’ruf) dan teologi negative
(nahi mungkar). Teologi positif bergfungsi untuk mendorong etos kerja manusia
sebagai khalifah Tuhan di dunia. Sedangkan teologi negative diletakkan dalam
kerangka kritik sosial terhadap struktur dan praktik-praktik yang menagrah pada
proses dehumanisasi. Dalam mengkotruksi Pribumisasi Islam ini, Abdurrahman
Wahid, setidaknya, melakukan pembacaan terhadap Islam (normatif) dalam tiga
hal, yaitu Islam sebagai kerangka nilai, model pembacaan pribumisasi terhadap
wahyu dan realitas, dan akhirnya menempatkan pribumisasi Islam sebagai Islam
yang memihak.
Gagasan Pribumisasi
Islam yang dimaksud Gus Dur adalah wahyu Tuhan dipahami dengan mempertimbangkan
faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilannya.
Pribumisasi Islam perlu dipahami sebagai sebuah usaha untuk melakukan
“rekonsiliasi” atau mendialogkan Islam dengan kekuatan-kekuatan budaya lokal.
Tujuannya agar kedatangan Islam tidak menghilangkan budaya local yang memiliki
sifat orisinil.
Menurut Gus Dur,
Pribumisasi harus dilihat sebagai sebuah kebutuhan, bukannya sebagai upaya
mensubordinasi Islam lokal, karena dalam pribumisasi Islam harus tetap ada
sifat Islamnya. Pribumisasi Islam juga bukan semacam “Jawanisasi” atau
sinkretisme, sebab Pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan
budaya local didalam merumuskan hokum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu
sendiri. Juga bukan meninggalkan norma agama itu demi budaya. Tetapi agar
norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan
peluang yang disediakan variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan
kepada ushul figh dan qaidah fiqh.
BAB
III
KESIMPULAN
Penulis
memandang, gagasan “Pribumisasi Islam” ini bisa dikatakan sebagai benang merah
dari pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang Islam. Penolakan terhadap
upaya syari’atisasi Islam, formalisasi Islam, dan ideologi Islam yang
menggiring pada upaya pembentukan Negara Islam sebenarnya bisa dirujuk dari
bagaimana Gus Dur memahami Islam dalam kaitannya dengan masalah-masalah sosial,
ekonomi, politik, dan budaya. Islam memiliki nilai-nilai yang bersifat
universal, yang harus disepakati oleh seluruh umatnya. Namun dalam
implementasinya diruang sejarah kemasyarakatan, baik itu berkaitan dengan
massalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya, Islam bisa tampil berbeda antara
didaerah satu dan daerah lainnya. Itu terjadi karena terjadi proses
rekonsiliasi antara nilai-nilai Islam dengan kekuatan yang bersifat lokal.
Dengan demikian, gagasan Gus Dur tentang pribumisasi
Islam itu tidak lain adalah upaya pembaharuannya yang mempertegas perspektif
gerakan cultural dan gerakan kemasyarakatan, yang lebih popular dengan sebutan
membangun civil society yang bersifat komolementer dan mendukung sebuah Negara
pancasila yang telah dimulai oleh para bapak pendiri bangsa (founding
father).
DAFTAR ISI
- Wahid,
Abdurrahman. 2000. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS
- Barton, Greg. 1990. Gagasan
Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurkholish Madjid, Djohan
Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid 1968-1980. Jakarta: Kerjasama
Paramadina dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI, dan The Ford
Foundation.
- al-Buthi,
Said Ramadhan.1977. Dhawabit al-Maslahah fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah.
Beirut: Muassasah al-Risalah
- Al-ghozali, Abu Hamid. 1983. Al-Mustaashfa fi ‘Ilm al-Ushul, Jilid. I., Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah
-
Ahmad
al-Zarqa, Musthofa. 2000. Hukum dan Perubahan Sosial : Studi Komperatif Delapan
Mazhab Fiqh, alih bahasa Ade Dede Rohayana, Jakarta:
Riora Cipta.
-
Wahid,
Abdurrahman. 2007. “Konsep-Konsep Keadilan”, epilog dalam Nurchlish Madjid
dkk, Islam Universal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
-
Cipto Sembodo, “Problematika Pembaruan
Hukum Islam”, dalam http://orientalismehukumIslam.blogspot.com/2010/09/problematika-pembaharuan-hukum-Islam.html.
[1]
Adnan Mahmud dkk, Pemikiran., hal. 69
[2]
Marzuki Wahid, Marzuki Wahid, “Post- Tradisionalisme., hal. 69
[3]
Greg Barton, Gagasan Islam
Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurkholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman
Wahid 1968-1980, (Jakarta: Kerjasama Paramadina dengan Pustaka Antara,
Yayasan Adikarya IKAPI, dan The Ford Foundation, 1990), hal. 12
[4]
Cipto Sembodo,
“Problematika Pembaruan Hukum Islam”, dalam http://orientalismehukumIslam.blogspot.com/2010/09/problematika-pembaharuan-hukum-Islam.html.
[5]
Said Ramadhan
al-Buthi, Dhawabit al-Maslahah fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1977), Cet. ke-3, hal. 330
[6]
Abu Zahrah, hal.
279
[7]
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mustaashfa
fi ‘Ilm al-Ushul, Jilid. I., (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), hal. 286
[8]
Yusuf al-Qhardhawy, Ijtihad., hal. 150 dan 169
[9]
Musthafa Ahmad al-Zarqa, Hukum
dan Perubahan Sosial : Studi Komperatif Delapan Mazhab Fiqh, alih bahasa
Ade Dede Rohayana, (Jakarta: Riora Cipta, 2000), hal. 42
[10]
Dalam karangan
al-Syatibi, al-I’tisham, yang suting oleh Fathurrahman Djamil,
hal. 142
[11]
Al-Ghazali, al-Mustasyfā min ‘Ilmi al-Ushūl, Jilid II, Sayyid al-Husein, Kairo, tt,
hlm. 364 367
[12]
Abdul Aziz Ibn Abdurrahman Ibn Ali
al-Rabi’ah., hal. 222
[13]
Abdurrahman
Wahid, “Konsep- Konsep Keadilan”, epilog dalam Nurchlish Madjid dkk, Islam
Universal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 330-338
[14]
M. Syafi’ Anwar, dalam Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita
... hal. xxiv
[15]
Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme., hal. 32-33
[16]
Abdurrahman Wahid, Islamku,Islam
anda, Islam kita,. hal. 21
[17]
Ibid, hal. 176
[18]
Ibid. hal. 22
0 comments
Post a Comment
IF YOU LIKE THIS ARTICLE, PLEASE SHARE OR LEAVE YOUR COMMENT ..