2013-01-20

PEMIKIRAN HUKUM HAZAIRIN



PENDAHULUAN

Masalah besar yang dihadapi umat islam di Indonesia adalah bagaimana membentuk satu pemikiran hukum islam yang sesuai dengan tradisi (adat) yang ada diwilayah ini. Pandangan seperti ini merupakan proses awal dari keseluruhan cita-cita untuk menjadikan hukum Islam sebagai bagian integral dari sistem hukum Nasional. Kenyataan bahwa selama ini umatIslam hanya mengikuti jalur pemikiran fiqh madzhab Syafi’i ternyata memberikan pengaruh terhadap karakter pembaharuan dan nasib pemikiran hukum Islam di indonesia.
            Dibandingkan dengan negara-negara lain yang tidak pernah dijajah oleh Belanda, Indonesia termasuk negara yang kurang beruntung. Hal ini dapat dimengerti dengan tidak adanya perhatian pemerintah koloni secara cukup proporsional dalam proses pembenahan dan pengembangan hukum Islam, terutama dalam kontek legislasi hukum Islam yang dicitakan dapat diipakai sebagai acuan perundang-undangan di lingkungan Peradilan Agama. Oleh karena itu, wajar kiranya jika hingga 1960-an, kitab-kitab hukum fiqh yang dibuat oleh para mujtahid pada abad pertengahan, masih menjadi acuan utama dalam proses pengambilan keputusan di lingkungan Peradilan Agama.

            Fenomena ini sangat memperhatinkan sebab kerakter pemikiran dalam kitab fiqh klasik itu secara umum sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan umat Islam di Indonesia. Pergumulan para mujtahid dengan konteks sosial politik Timur Tengah, sangat mempengaruhi hasil Ijtihad yang mereka lakukan sehingga tidak cocok kalau dipaksa untuk dilaksanakan di Indonesia. Dengan demikian, permasalahan-permasalahan fiqh, terutama dalam bidang rnu’amalah, membutuhkan rumusan baru agar lebih relevan dengan situasi dan kondisi serta adat dan budaya Indonesia. Setiing sejarah sosial pemikiran hukum Islam di ataslah yang telah mendorong Hazairin, untuk membentuk Fiqh Madzhab Nasional Indonesia.  
           


PEMBAHASAN

Setting sejarah sosial pemikiran hukum Islam di atas telah mendorong Hazairin,[1]untuk membentuk Fiqh Madzhab Nasional Indonesia. Dalam konteks pembicaraan bahwa permasalhan yang dihadapi umat Islam Indonesia adalah masalh hukum, dan bahwa karakteristik hukum Islam berbeda dengan unsur keimanan dan keislaman lainnya, maka menurut Hazairin, eksistensi hukum Islam dikatakan sedang mencari–cari tempat didalam masyarakat.  Dari sini ide Fiqh Madzhab Nasional Indonesia menuai signifikansinya. dalam amatan Hazairin, bentangan perjalanan sejarah hukum Islam yang mewartakan bahwa pintu Ijtihad senantiasa terbuka bagi para mujtahid, cukup bisa dijadikan alasan dan pertimbangan akan perlunya memikirkan konstruk madzhab baru yang lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia. Menurutnya, madzhab hukum Syafi’i harus dikembangkan sehingga mampu menjadikan penghubung bagi resolusi problem-problem spesifik masyarakat Indonesia.
            Berbeda dengan pandangan Hasbi ash –Shiddieqy yang menginginkan membentuk Fiqh Indonesia dengan cara menggunakan semua madzhab hukum yang telah ada sebagai bahan dasar dan sumber materi utamanya, Hazairin justru menginginkan pembentukan Fiqh madzhab nasionalnya ini dengan titik berangkat hanya dari pengembangan Fiqh madzhab Syafi’i.[2] Pandangan Hazairin ini lebih didasarkan pada kenyataan bahwa madzhab Syafi’i telah sekian lama dianut oleh masyarakat Indonesia, sehingga kerakternya bisa dikatakan paralel dengan nilai-nilai adat Indonesia. Bagi Hazairin, eksistensi hukum adat tidak bisa dikesampingkan begitu saja didalam proses pembuatan hukum Islam di Indonesia.
            Penilaian yang kurang tepat terhadap hukum adat, terutama ketika ia dianggap sebagai faktor yang menghalangi pengembangan hukum Isalm, dan begitu juga sebaiknya, tidak bisa lepas dari kondisi politik kolonial masa lalu, terutama sejak munculnya teori receptie. Menurut Hazairin, umat Islam tidak perlu lagi terjebak dalam kontroversi tentang status hukum Islam hanya karena adanya propaganda dari teori itu. Dia menyarankan agar umat Islam memakai hukum Islam sebagai hukum  yang ditaati guna menata kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, peradilan Islam dimungkinkan untuk berdiri dan integral dengan peradilan negara, yang dalam hal ini berada dibawah pengawasan Mahkamah Agung.
            Menurut Hazairin, dengan merujuk pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945, maka sebenarnya tidak perlu lagi terjadi pertentangan antara sistem hukum adat, hukum positif, dan hukum agama. Begitu juga tidak boleh lagi ada satu ketentuan dan hukum baru yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan juga hukum agama yang lain, dan begitu pula sebaliknya. Negara wajib mengayomi setiap orang untuk bisa menjalankan ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Selain itu, negara juga wajib mengatur dan mengontrol sistem hukum islam, terutama aspek mu’amalahnya, yang memang membutuhkan bantuan negara dalam implementasinya.[3]
            Dengan meihat paparan diatas, ide Hazairin tentang Fiqh Madzhab Nasional Indonesia boleh dikatakan merupakan prolifelari(pengembangan) dari gagasan Fiqh Madzhab Indonesia yang digagas oleh Hasbi ash-Shiddieqy. Titik temu pandangan keduanya terletak pada entri bahwa hukum adat masyarakat Islam Indonesia harus digunakan sebagai bahan pertimbangan utama dalam proses pembentukan hukumIslam di Indonesia. Dalam hal ini, Hazairin berusaha melempangkan pemikiran Hasbi yang sebelumnya kurang diperhatikan (unresponsive), yaitu upaya mempersatu padukan nilai-nilai yang berasal dari adat maupun hukum Islam ke dalam satu entitas hukum. Dengan upaya penyelarasan ini, setidaknya akan menghasilkan satu hasil ijtihad baru yang lebih mendekatkan hukum Islam kepada masyarakat muslim Indonesia, sehingga penyimpangan seperti yang ditempuh oleh beberapa negara Islam (dalam upaya mereformasi undang-undang hukum keluarga), tidak perlu dilakukan.
            Kesejajaran pemikiran Hazairin dengan pemikiran Hasbi ash-Shiddieqy juga dapat dilihat pada perubahan nama dari tema pemikiran yang ia usulkan. Pada buku yang berjudul Hukum : Kekeluargaan Nasional. Hazairin melakukan perubahan dari istilah “ Madzhab Nasional” ke “Madzhab Indonesia”, suatu konsep yang jelas mengantisipasi ide Fiqh Indonesia sebagaimana yang pernah ditawarkan oleh Hasbi ash-Shiddieqy.[4]
            Dalm amatan Hazairin, Fiqh ahl-as-sunnah terbentuk dalam masyarakat Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan patrilineal, dalam suatu masa sejarah, ketika ilmu pengetahuan tentang bentuk-bentuk kemasyarakatan belum berkembang. Hal ini menyebabkan para mujtahid berpandangan sempit, karena belum adanya perbandingan-perbandingan mengenai berbagai hal terkait masalah hukum, terutama dalam maslah kewarisan. Oleh karena itu, sangat wajar apabila dalam pengimplementasiannya terjadi konflik antara sistem kewarisan yang dihasilkan ahl as-sunnah dengan sistem kewarisan adat dalam berbagai lingkungan masyarakat Indonesia.
            Dengan cara pandang seperti itu, Hazairin kemudian mencoba untuk mencari kebenaran hakiki yang mungkin paling dekat dengan keinginan al-Qur’an dari ayat-ayat kewarisan, berdasarkan keyakinan bahwa Tuhan tentu hanya menginginkan adanyia satu kebenaran saja terhadap setiap kemauan-Nya. Suatu kebenaran yang tidak akan diperselisihkan lagi tingkat akurasinya, karena sudah final. Usaha ini dimulai dengan menghimpun semua ayat dan Hadis yang berhubungan dengan kewarisan, lalu menafsirkannya sebagi satu kesatuan yang saling menerangkan. Usaha ini didukung sepenuhnya oleh hasil temuan ilmu antropologi sebagai kerangka acu untuk membantu menjelaskan pengertian dan konsep-konsepnya.
            Dalam hal ini, Hazairin mengusulkan perlunya memanfaatkan hasil-hasil keilmuan kotemporer (khususnya antropologi) dalam menetapkan hukum-hukum fiqh (kewarisan). Hal ini diimaksudkan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih padu dan menyeluruh. Dalam pandangannya, kelahiran dan perkembangan ilmu antropologi telah membuka peluang bagi setiap orang untuk melihat ayat-ayat kewarisan dalam kerangka yang lebih luas, yaitu sistem kekeluargaan dalam berbagai masyarakat dunia. Al-Qur’an yang bersifat Universal, harusnya tidak dipahami dan diacu sebagai kaidah mati, dalam arti semua ketentuan hukum dalam al-Qur’an harus diterapkan kehidupan praksis dengan tanpa melihat kondisi dan situasi masyarakat sekitar, dengan konsekuensi melakukan tambal sulam terhadap hal-hal yang dirasa  bertentangan. Kondisi seperti ini semakin parah dengan adanya pihak yang coba memahami ayat-ayat (kewarisan), hanya dalam kerangka adat masyarakat Arab masa nabi, sehingga membawa implikasi pada terjadinya benturan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya yang memiliki sistem dan bentuk kekeluargaan yang beda.
            Penggunaan ilmu kotemporer (antropologi) sebagai kerangka acu tambahan dalam pola kerja pemikiran hukum Islam Hazairin ternyata telah membuat posisi ushul fiqh menjadi terpinggirkan. Pendekatan yang tak lazim ini menjadi problem tersendiri dan bisa dikatakan sebagai faktor penyebab mengapa pemikiran Hazairin ini kurang mendapat respon positif dan proporsional dari masyarakat luas.[5]
            Hazairin sendiri memahami dan mengakui keberadaan fiqh dan juga ushul fiqh sebagai produk dan metode pemikiran hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan mahluk hidup selainnya, dan antara manusia dengan segala macam benda. Sebagai hasil pemikiran fiqh bisa melahirkan norma (hukum). Sedangkan ushul fiqh sebagai pokok dari fiqh adalah spare part yang mampu mengerakkan pemikiran Ijtihad dengan landasan al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qisas.[6] Dimensi pemikiran hukum yang selama ini tertuang dalam kitab fiqh,dengan demikian,senantiasa akan menerima perubahan-perubahan dari segi materi maupun metode pengembangannya.
            Usaha untuk merekonstruksi format fiqh baru, menurut pandangan Hazairin, dapat dimulai dengan tafsir otentik atas al-Qur’an. Dalam analisis dan hasil temuan dari studi tentang pemikiran waris Hazairin yang dilakukan oleh Al-Yasa Abu Bakar, dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter sumber-sumber hukum Islam, yakni sunnah, ijma, dan qiyas memungkinkan untuk digugat hasil ketetapan ijtihadnya.
            Oleh karena itu, Hazairin coba menawarkan pola penafsiran baru atas al-Qur’an yaitu menginkorporasikan keilmuan modern, dalam hal ini antropologi, ke dalam proses penafsiran, serta memberikan prasangka sebelum memulai pekerjaannya. Pola penafsiran  baru ini tentu mempunyai konsekuensi berkembang. Penalaran Hazairin ini mengfokuskan adanya penyelarasan ayat-ayat al-qur’an (tentang waris)dengan hadis nabi, dan pencarian arti kata kunci dalam al-qur’an dengan al-Qur’an sendiri. Yang pertama didasarkan pada pemikiran dia sebelumnya, yang mengatakan bahwa hadis akan bertolak apabila bertentanan dengan hasil penafsiran ayat dengan ayat. Sedangkan yang kedua, dengan memakai kerangka diatas, dimaksudkan untuk mencari perbandingan, sehingga dari sini dapat diambil kesimpulan yang lebih tepat.  Langkah yang terakhir ini fdilakukan untuk menunjukkan arti penting aplikasi pendekatan antropologi, yang diyakini akan memberikan pemahaman yang tepat dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, Hazairin tidak mengandalkan buku kamus, menghindari kajian semantik dan studi derivasi kata Arab, bahkan dia banyak mengkritikulama sunni karena sangat terpengaruh dengan tradisi arab, bahkan dia banyak mengkritik ulama Sunni karena sangat terpengaruh tradisi arab dalam memahami teks. Dalam amanatnya,  beberapa istilah di dalam Al-Qur’an yang menurut sebagian ulama memiliki arti bias, ternyata mempunyai arti kusus menurut Al-Qur’an sendiri.
            Demikian gambaran umum dari meode wacana Fiqh Nasional yang coba didemonstrasikan oleh Huzairin melalui tulisan-tulian nya sejak tahun 1950-1958. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Hazairin memakai metode induktif dan deduktif secara serentak didalam menginterprestasikan teks Al-Qur’an dan Hadist. Dengan model seperti itu ia memandang qiyas lebih sebagai kegiatan penalaran daripada sebagai dalil atau sumber itu sendiri.
            Potret yang ditawarkan Hazairin adalah dalam medan hukum kewarisan. Menurutnya, konsep hukum kewarisan Islam yang selama ini berjalan dengan menganut sistem patrilineal (menarik keturunan hanya dari arah laki-laki saja). Itu sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya Timur Tengah Arab yang juga demikian. Hukum kewarisan dalm al-Qur’an, bagi Hazairin, esensinya menganut sistem biletral yakni menarik dari pihak ayah dan ibu.
            Pemikiran ini muncul setelah ia melakukan penelitian atas ayat-ayat al-Qur’an tentang waris, dan melakukan hipotesis (dugaan) bahwa bukan masyarakat yang berclan atau parilinial yang dikehendaki dial-Qur’an, melainkan yang dikehendaki masyarakat bilateral. Hipotesis ini didasarkan dan dilatarbelakangai oleh fenomena perkawinan sahabat Alidan putra nabi, Fatimah az-Zahra, yang dibenarkan oleh al-Qur’an. Dalam pandangan masyarakat ber-clan sebagaimana terjadi  di Arab sebelum datangnya Islam, perkawinan seperti ini disebut eksogami, jarang sekali  silakukan dianggap tabu, dan karena itu tidak dapat dibenarkan.
            Pemikiran hukum kewarisan bilateral yang ada dalam al-Qur’an ini telah memunculkan perspektif sekaligus pandangan baru dalam rangkaian detail dan turunan angka pembagian harta warisan. Implikasi lebih jauh yang ditimbulkan oleh gagasan Hazairin ini menjangkau permasalahn-permasalahan :
a.       Istilah ashabah berasal dari adat masyarakat Arab, dan karena itu tidak seharusnya dipertahankan.
b.      Kedudukan keturunan melalui anak perempuan, dan seterusnya ke bawah, sama kuatnya dengan keturunan melalui anak laki-laki, dan seterusnya kebawah.
c.       Memasukkan ahli waris karena pergantian kedalam sistem kewarisan Islam, sengan menggunakan surat an-Nisa ayat 33 sebagai landasannya.
d.      Memperkenalkan pengelompokan baru untuk ahli waris, yaitu dzawi al-furudh, dzawi al-qarabah, dan mawali, sebagai ganti dari dzawi al-furudh, ashabah dan dzawi al-arham.
e.       Kedalam pengertian kalalah (mati punah) diikut sertakan orang yang hanya mati punah ke bawah (tidak meninggalkan keturunan). Hal ini berbeda dengan fiqh Sunni, yang mengartikan kalaah sebagai orang yang matit idak meninggalkan keturunan laki-laki dan ayah.

Pandangan-pandangan diatas mengandaikan bahwa masing-masing cucu akan mengambil hak ayah dan ibunya yang telah meninggal. Dalam kasus pertama harta warisan setelah dikeluarkan untuk dzawi al-furudh,kemudian dibagi menjadi empat bagian : satu bagian untuk anak perempuan, satu bagian untuk cucu laki-laki sebagai pengganti dari ibunya, dan dua bagain untuk cucu perempuan sebagai pengganti dari ayahnya. Dalam kasus kedua dengan proses yang sama, cucu melalui anak laki-laki memperoleh 2/3, cucu melalui anak perempuan mendapat 1/5 dan anak-anak perempuan kandung masing-masing mendapat 1/5 bagian.
Dalam bingkai pemikiran Hazairin, pandangan-pandangan diatas merupakan hal bau yang muncul sebagai hasil renungan dan pemikiran atas masyarakat Indonesia. Temuan-temuan demikian niscaya hadir, seiring lahirnya intensitas keilmuan pendukung yaitu antropologi, yang dapat dijadikan jangkar untuk menjangkau penelitian bentuk-bentuk kemasyarakatan dan hubungannya dengan sistem kewarisan dengan cukup kohesif. Dan titik iniah kemudian dilakukan upaya penafsiran ulang terhadap doktrin hukum kewarisan, agar lebih selaras dengan kemajuan ilmu dan keadaan masyarakat di Indonesia, sehingga tidak ada istilah helah (hiyal) hukum lagi dalam dataran praktis.
Harus diakui bahwa seandainya pendapat di atas diterima secara penuh maka jelas akan mempunyai implikasi serius dalam hukum kewarisan islam. Pandangan hazairin tentang sistem waris bilateral ini merupakan horizon dan teori baru dalam sistem kewarisan Islam. Lebih dari itu, ia telah membongkar konsepsi-konsepsi hukum kewarisan islam yang terdapat dalam berbagai magzhab hukum Islam, baik sunni maupun syi’i. Menurut beberapa penulis, diantara pemikir hukum islam indonesia, hanya baru Hazairin yang mampu menghasilkan teori yang demikian original. Keadaan ini, memungkinkannya disebut sebagai mujtahid f al-asyya’, yakni sosok mujtahid yang dalam baas-batas tertentu memakai konsep dan metode sendiri, serta mampu menghasilkan teori baru bagi pengembangan hukum islam, yang berbada sama sekali dengan rumusan-rumusan yang telah lebih dahulu ada (muncul).



 

PENUTUP
Hazairin memakai metode induktif dan deduktif secara serentak didalam menginterprestasikan teks Al-Qur’an dan Hadist. Dengan model seperti itu ia memandang qiyas lebih sebagai kegiatan penalaran daripada sebagai dalil atau sumber itu sendiri.
            Potret yang ditawarkan Hazairin adalah dalam medan hukum kewarisan. Menurutnya, konsep hukum kewarisan Islam yang selama ini berjalan dengan menganut sistem patrilineal(menarik keturunan hanya dari arah laki-laki saja). Itu sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya Timur Tengah Arab yang juga demikian. Hukum kewarisan dalm al-Qur’an, bagi Hazairin, esensinya menganut sistem biletral yakni menarik dari pihak ayah dan ibu.
            Pemikiran ini muncul setelah ia melakukan penelitian atas ayat-ayat al-Qur’an tentang waris, dan melakukan hipotesis (dugaan) bahwa bukan masyarakat yang berclan atau parilinial yang dikehendaki dial-Qur’an, melainkan yang dikehendaki masyarakat bilateral. Hipotesis ini didasarkan dan dilatarbelakangai oleh fenomena perkawinan sahabat Alidan putra nabi, Fatimah az-Zahra, yang dibenarkan oleh al-Qur’an. Dalam pandangan masyarakat ber-clan sebagaimana terjadi  di Arab sebelum datangnya Islam, perkawinan seperti ini disebut eksogami, jarang sekali  silakukan dianggap tabu, dan karena itu tidak dapat dibenarkan.
            Pemikiran hukum kewarisan bilateral yang ada dalam al-Qur’an ini telah memunculkan perspektif sekaligus pandangan baru dalam rangkaian detail dan turunan angka pembagian harta warisan.


[1] Sayuti Thalib, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: in Memoriam Prof. Mr. dr. Hazairin, (Jakarta: UI Press,tt).
[2] Syamsul Wahidin dan Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 1984) hal, 87-88.
[3] Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: tintamas, 1973) hal. 18-20.

[4] Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Tintamas, 1982), hal 5-6.
 [5] K.N. Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro, Dasar-dasar...... hal. 104. 
[6] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadist, (Jakarta: Tintamas, 1982), hal. 62.




Related Posts

0 comments

Post a Comment

IF YOU LIKE THIS ARTICLE, PLEASE SHARE OR LEAVE YOUR COMMENT ..