PENDAHULUAN
Masalah besar yang dihadapi umat islam di Indonesia
adalah bagaimana membentuk satu pemikiran hukum islam yang sesuai dengan
tradisi (adat) yang ada diwilayah ini. Pandangan seperti ini merupakan proses awal
dari keseluruhan cita-cita untuk menjadikan hukum Islam sebagai bagian integral
dari sistem hukum Nasional. Kenyataan bahwa selama ini umatIslam hanya
mengikuti jalur pemikiran fiqh madzhab Syafi’i ternyata memberikan pengaruh
terhadap karakter pembaharuan dan nasib pemikiran hukum Islam di indonesia.
Dibandingkan
dengan negara-negara lain yang tidak pernah dijajah oleh Belanda, Indonesia
termasuk negara yang kurang beruntung. Hal ini dapat dimengerti dengan tidak
adanya perhatian pemerintah koloni secara cukup proporsional dalam proses
pembenahan dan pengembangan hukum Islam, terutama dalam kontek legislasi hukum Islam
yang dicitakan dapat diipakai sebagai acuan perundang-undangan di lingkungan
Peradilan Agama. Oleh karena itu, wajar kiranya jika hingga 1960-an,
kitab-kitab hukum fiqh yang dibuat oleh para mujtahid pada abad pertengahan,
masih menjadi acuan utama dalam proses
pengambilan keputusan di lingkungan Peradilan Agama.
Fenomena ini
sangat memperhatinkan sebab kerakter pemikiran dalam kitab fiqh klasik itu
secara umum sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan umat Islam di Indonesia.
Pergumulan para mujtahid dengan konteks sosial politik Timur Tengah, sangat
mempengaruhi hasil Ijtihad yang mereka lakukan sehingga tidak cocok kalau
dipaksa untuk dilaksanakan di Indonesia. Dengan demikian,
permasalahan-permasalahan fiqh, terutama dalam bidang rnu’amalah,
membutuhkan rumusan baru agar lebih relevan dengan situasi dan kondisi serta
adat dan budaya Indonesia. Setiing sejarah sosial pemikiran hukum Islam di ataslah
yang telah mendorong Hazairin, untuk membentuk Fiqh Madzhab Nasional Indonesia.
PEMBAHASAN
Setting sejarah sosial pemikiran hukum Islam di atas telah
mendorong Hazairin,[1]untuk
membentuk Fiqh Madzhab Nasional Indonesia. Dalam konteks pembicaraan bahwa
permasalhan yang dihadapi umat Islam Indonesia adalah masalh hukum, dan bahwa
karakteristik hukum Islam berbeda dengan unsur keimanan dan keislaman lainnya,
maka menurut Hazairin, eksistensi hukum Islam dikatakan sedang mencari–cari
tempat didalam masyarakat. Dari sini ide
Fiqh Madzhab Nasional Indonesia menuai signifikansinya. dalam amatan Hazairin,
bentangan perjalanan sejarah hukum Islam yang mewartakan bahwa pintu Ijtihad senantiasa
terbuka bagi para mujtahid, cukup bisa dijadikan alasan dan pertimbangan akan
perlunya memikirkan konstruk madzhab baru yang lebih sesuai dengan masyarakat
Indonesia. Menurutnya, madzhab hukum Syafi’i harus dikembangkan sehingga mampu
menjadikan penghubung bagi resolusi problem-problem spesifik masyarakat
Indonesia.
Berbeda dengan
pandangan Hasbi ash –Shiddieqy yang menginginkan membentuk Fiqh Indonesia
dengan cara menggunakan semua madzhab hukum yang telah ada sebagai bahan dasar
dan sumber materi utamanya, Hazairin justru menginginkan pembentukan Fiqh
madzhab nasionalnya ini dengan titik berangkat hanya dari pengembangan Fiqh
madzhab Syafi’i.[2]
Pandangan Hazairin ini lebih didasarkan pada kenyataan bahwa madzhab Syafi’i
telah sekian lama dianut oleh masyarakat Indonesia, sehingga kerakternya bisa
dikatakan paralel dengan nilai-nilai adat Indonesia. Bagi Hazairin, eksistensi
hukum adat tidak bisa dikesampingkan begitu saja didalam proses pembuatan hukum
Islam di Indonesia.
Penilaian yang
kurang tepat terhadap hukum adat, terutama ketika ia dianggap sebagai faktor
yang menghalangi pengembangan hukum Isalm, dan begitu juga sebaiknya, tidak
bisa lepas dari kondisi politik kolonial masa lalu, terutama sejak munculnya
teori receptie. Menurut Hazairin, umat Islam tidak perlu lagi terjebak dalam
kontroversi tentang status hukum Islam hanya karena adanya propaganda dari
teori itu. Dia menyarankan agar umat Islam memakai hukum Islam sebagai
hukum yang ditaati guna menata kehidupan
sehari-hari. Selanjutnya, peradilan Islam dimungkinkan untuk berdiri dan
integral dengan peradilan negara, yang dalam hal ini berada dibawah pengawasan
Mahkamah Agung.
Menurut Hazairin,
dengan merujuk pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945, maka sebenarnya tidak perlu lagi
terjadi pertentangan antara sistem hukum adat, hukum positif, dan hukum agama.
Begitu juga tidak boleh lagi ada satu ketentuan dan hukum baru yang
bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan juga hukum agama yang lain,
dan begitu pula sebaliknya. Negara wajib mengayomi setiap orang untuk bisa
menjalankan ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Selain itu, negara juga wajib
mengatur dan mengontrol sistem hukum islam, terutama aspek mu’amalahnya, yang
memang membutuhkan bantuan negara dalam implementasinya.[3]
Dengan meihat
paparan diatas, ide Hazairin tentang Fiqh Madzhab Nasional Indonesia boleh
dikatakan merupakan prolifelari(pengembangan) dari gagasan Fiqh Madzhab
Indonesia yang digagas oleh Hasbi ash-Shiddieqy. Titik temu pandangan keduanya
terletak pada entri bahwa hukum adat masyarakat Islam Indonesia harus digunakan
sebagai bahan pertimbangan utama dalam proses pembentukan hukumIslam di Indonesia.
Dalam hal ini, Hazairin berusaha melempangkan pemikiran Hasbi yang sebelumnya
kurang diperhatikan (unresponsive), yaitu upaya mempersatu padukan nilai-nilai
yang berasal dari adat maupun hukum Islam ke dalam satu entitas hukum. Dengan
upaya penyelarasan ini, setidaknya akan menghasilkan satu hasil ijtihad baru
yang lebih mendekatkan hukum Islam kepada masyarakat muslim Indonesia, sehingga
penyimpangan seperti yang ditempuh oleh beberapa negara Islam (dalam upaya
mereformasi undang-undang hukum keluarga), tidak perlu dilakukan.
Kesejajaran
pemikiran Hazairin dengan pemikiran Hasbi ash-Shiddieqy juga dapat dilihat pada
perubahan nama dari tema pemikiran yang ia usulkan. Pada buku yang berjudul
Hukum : Kekeluargaan Nasional. Hazairin melakukan perubahan dari istilah
“ Madzhab Nasional” ke “Madzhab Indonesia”, suatu konsep yang
jelas mengantisipasi ide Fiqh Indonesia sebagaimana yang pernah ditawarkan oleh
Hasbi ash-Shiddieqy.[4]
Dalm amatan
Hazairin, Fiqh ahl-as-sunnah terbentuk dalam masyarakat Arab yang bersendikan
sistem kekeluargaan patrilineal, dalam suatu masa sejarah, ketika ilmu
pengetahuan tentang bentuk-bentuk kemasyarakatan belum berkembang. Hal ini
menyebabkan para mujtahid berpandangan sempit, karena belum adanya perbandingan-perbandingan
mengenai berbagai hal terkait masalah hukum, terutama dalam maslah kewarisan.
Oleh karena itu, sangat wajar apabila dalam pengimplementasiannya terjadi
konflik antara sistem kewarisan yang dihasilkan ahl as-sunnah dengan sistem kewarisan
adat dalam berbagai lingkungan masyarakat Indonesia.
Dengan cara
pandang seperti itu, Hazairin kemudian mencoba untuk mencari kebenaran hakiki
yang mungkin paling dekat dengan keinginan al-Qur’an dari ayat-ayat kewarisan,
berdasarkan keyakinan bahwa Tuhan tentu hanya menginginkan adanyia satu
kebenaran saja terhadap setiap kemauan-Nya. Suatu kebenaran yang tidak akan
diperselisihkan lagi tingkat akurasinya, karena sudah final. Usaha ini dimulai
dengan menghimpun semua ayat dan Hadis yang berhubungan dengan kewarisan, lalu
menafsirkannya sebagi satu kesatuan yang saling menerangkan. Usaha ini didukung
sepenuhnya oleh hasil temuan ilmu antropologi sebagai kerangka acu untuk
membantu menjelaskan pengertian dan konsep-konsepnya.
Dalam hal ini,
Hazairin mengusulkan perlunya memanfaatkan hasil-hasil keilmuan kotemporer
(khususnya antropologi) dalam menetapkan hukum-hukum fiqh (kewarisan). Hal ini
diimaksudkan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih padu dan menyeluruh.
Dalam pandangannya, kelahiran dan perkembangan ilmu antropologi telah membuka
peluang bagi setiap orang untuk melihat ayat-ayat kewarisan dalam kerangka yang
lebih luas, yaitu sistem kekeluargaan dalam berbagai masyarakat dunia.
Al-Qur’an yang bersifat Universal, harusnya tidak dipahami dan diacu sebagai
kaidah mati, dalam arti semua ketentuan hukum dalam al-Qur’an harus diterapkan
kehidupan praksis dengan tanpa melihat kondisi dan situasi masyarakat sekitar,
dengan konsekuensi melakukan tambal sulam terhadap hal-hal yang dirasa bertentangan. Kondisi seperti ini semakin
parah dengan adanya pihak yang coba memahami ayat-ayat (kewarisan), hanya dalam
kerangka adat masyarakat Arab masa nabi, sehingga membawa implikasi pada
terjadinya benturan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya yang
memiliki sistem dan bentuk kekeluargaan yang beda.
Penggunaan ilmu
kotemporer (antropologi) sebagai kerangka acu tambahan dalam pola kerja
pemikiran hukum Islam Hazairin ternyata telah membuat posisi ushul fiqh menjadi
terpinggirkan. Pendekatan yang tak lazim ini menjadi problem tersendiri dan
bisa dikatakan sebagai faktor penyebab mengapa pemikiran Hazairin ini kurang
mendapat respon positif dan proporsional dari masyarakat luas.[5]
Hazairin sendiri
memahami dan mengakui keberadaan fiqh dan juga ushul fiqh sebagai produk dan
metode pemikiran hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan sesama manusia, manusia dengan mahluk hidup selainnya, dan
antara manusia dengan segala macam benda. Sebagai hasil pemikiran fiqh bisa
melahirkan norma (hukum). Sedangkan ushul fiqh sebagai pokok dari fiqh adalah
spare part yang mampu mengerakkan pemikiran Ijtihad dengan landasan al-Qur’an,
sunnah, ijma’, dan qisas.[6]
Dimensi pemikiran hukum yang selama ini tertuang dalam kitab fiqh,dengan demikian,senantiasa
akan menerima perubahan-perubahan dari segi materi maupun metode
pengembangannya.
Usaha untuk
merekonstruksi format fiqh baru, menurut pandangan Hazairin, dapat dimulai
dengan tafsir otentik atas al-Qur’an. Dalam analisis dan hasil temuan dari
studi tentang pemikiran waris Hazairin yang dilakukan oleh Al-Yasa Abu Bakar,
dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter sumber-sumber hukum Islam, yakni
sunnah, ijma, dan qiyas memungkinkan untuk digugat
hasil ketetapan ijtihadnya.
Oleh karena itu,
Hazairin coba menawarkan pola penafsiran baru atas al-Qur’an yaitu menginkorporasikan
keilmuan modern, dalam hal ini antropologi, ke dalam proses penafsiran, serta
memberikan prasangka sebelum memulai pekerjaannya. Pola penafsiran baru ini tentu mempunyai konsekuensi
berkembang. Penalaran Hazairin ini mengfokuskan adanya penyelarasan ayat-ayat
al-qur’an (tentang waris)dengan hadis nabi, dan pencarian arti kata kunci dalam
al-qur’an dengan al-Qur’an sendiri. Yang pertama didasarkan pada pemikiran dia
sebelumnya, yang mengatakan bahwa hadis akan bertolak apabila bertentanan
dengan hasil penafsiran ayat dengan ayat. Sedangkan yang kedua, dengan memakai
kerangka diatas, dimaksudkan untuk mencari perbandingan, sehingga dari sini
dapat diambil kesimpulan yang lebih tepat.
Langkah yang terakhir ini fdilakukan untuk menunjukkan arti penting
aplikasi pendekatan antropologi, yang diyakini akan memberikan pemahaman yang
tepat dalam proses penafsiran. Dalam hal ini, Hazairin tidak mengandalkan buku
kamus, menghindari kajian semantik dan studi derivasi kata Arab, bahkan dia
banyak mengkritikulama sunni karena sangat terpengaruh dengan tradisi arab,
bahkan dia banyak mengkritik ulama Sunni karena sangat terpengaruh tradisi arab
dalam memahami teks. Dalam amanatnya,
beberapa istilah di dalam Al-Qur’an yang menurut sebagian ulama memiliki
arti bias, ternyata mempunyai arti kusus menurut Al-Qur’an sendiri.
Demikian gambaran
umum dari meode wacana Fiqh Nasional yang coba didemonstrasikan oleh Huzairin
melalui tulisan-tulian nya sejak tahun 1950-1958. Dari sini dapat disimpulkan
bahwa Hazairin memakai metode induktif dan deduktif secara serentak didalam
menginterprestasikan teks Al-Qur’an dan Hadist. Dengan model seperti itu ia
memandang qiyas lebih sebagai kegiatan penalaran daripada sebagai dalil atau
sumber itu sendiri.
Potret yang
ditawarkan Hazairin adalah dalam medan hukum kewarisan. Menurutnya, konsep
hukum kewarisan Islam yang selama ini berjalan dengan menganut sistem
patrilineal (menarik keturunan hanya dari arah laki-laki saja). Itu sangat
dipengaruhi oleh konstruksi budaya Timur Tengah Arab yang juga demikian. Hukum
kewarisan dalm al-Qur’an, bagi Hazairin, esensinya menganut sistem biletral
yakni menarik dari pihak ayah dan ibu.
Pemikiran ini
muncul setelah ia melakukan penelitian atas ayat-ayat al-Qur’an tentang waris,
dan melakukan hipotesis (dugaan) bahwa bukan masyarakat yang berclan atau
parilinial yang dikehendaki dial-Qur’an, melainkan yang dikehendaki masyarakat
bilateral. Hipotesis ini didasarkan dan dilatarbelakangai oleh fenomena
perkawinan sahabat Alidan putra nabi, Fatimah az-Zahra, yang dibenarkan oleh
al-Qur’an. Dalam pandangan masyarakat ber-clan sebagaimana terjadi di Arab sebelum datangnya Islam, perkawinan
seperti ini disebut eksogami, jarang sekali
silakukan dianggap tabu, dan karena itu tidak dapat dibenarkan.
Pemikiran hukum
kewarisan bilateral yang ada dalam al-Qur’an ini telah memunculkan perspektif
sekaligus pandangan baru dalam rangkaian detail dan turunan angka pembagian
harta warisan. Implikasi lebih jauh yang ditimbulkan oleh gagasan Hazairin ini
menjangkau permasalahn-permasalahan :
a.
Istilah ashabah
berasal dari adat masyarakat Arab, dan karena itu tidak seharusnya
dipertahankan.
b.
Kedudukan
keturunan melalui anak perempuan, dan seterusnya ke bawah, sama kuatnya dengan
keturunan melalui anak laki-laki, dan seterusnya kebawah.
c.
Memasukkan ahli
waris karena pergantian kedalam sistem kewarisan Islam, sengan menggunakan
surat an-Nisa ayat 33 sebagai landasannya.
d.
Memperkenalkan
pengelompokan baru untuk ahli waris, yaitu dzawi al-furudh, dzawi al-qarabah,
dan mawali, sebagai ganti dari dzawi al-furudh, ashabah dan dzawi al-arham.
e.
Kedalam
pengertian kalalah (mati punah) diikut sertakan orang yang hanya mati punah ke
bawah (tidak meninggalkan keturunan). Hal ini berbeda dengan fiqh Sunni, yang
mengartikan kalaah sebagai orang yang matit idak meninggalkan keturunan
laki-laki dan ayah.
Pandangan-pandangan diatas mengandaikan bahwa masing-masing cucu
akan mengambil hak ayah dan ibunya yang telah meninggal. Dalam kasus pertama
harta warisan setelah dikeluarkan untuk dzawi al-furudh,kemudian dibagi menjadi
empat bagian : satu bagian untuk anak perempuan, satu bagian untuk cucu
laki-laki sebagai pengganti dari ibunya, dan dua bagain untuk cucu perempuan
sebagai pengganti dari ayahnya. Dalam kasus kedua dengan proses yang sama, cucu
melalui anak laki-laki memperoleh 2/3, cucu melalui anak perempuan mendapat 1/5
dan anak-anak perempuan kandung masing-masing mendapat 1/5 bagian.
Dalam bingkai pemikiran Hazairin, pandangan-pandangan diatas
merupakan hal bau yang muncul sebagai hasil renungan dan pemikiran atas
masyarakat Indonesia. Temuan-temuan demikian niscaya hadir, seiring lahirnya
intensitas keilmuan pendukung yaitu antropologi, yang dapat dijadikan jangkar
untuk menjangkau penelitian bentuk-bentuk kemasyarakatan dan hubungannya dengan
sistem kewarisan dengan cukup kohesif. Dan titik iniah kemudian dilakukan upaya
penafsiran ulang terhadap doktrin hukum kewarisan, agar lebih selaras dengan
kemajuan ilmu dan keadaan masyarakat di Indonesia, sehingga tidak ada istilah
helah (hiyal) hukum lagi dalam dataran praktis.
Harus diakui bahwa seandainya pendapat di atas diterima secara
penuh maka jelas akan mempunyai implikasi serius dalam hukum kewarisan islam.
Pandangan hazairin tentang sistem waris bilateral ini merupakan horizon dan
teori baru dalam sistem kewarisan Islam. Lebih dari itu, ia telah membongkar
konsepsi-konsepsi hukum kewarisan islam yang terdapat dalam berbagai magzhab
hukum Islam, baik sunni maupun syi’i. Menurut beberapa penulis, diantara
pemikir hukum islam indonesia, hanya baru Hazairin yang mampu menghasilkan
teori yang demikian original. Keadaan ini, memungkinkannya disebut sebagai
mujtahid f al-asyya’, yakni sosok mujtahid yang dalam baas-batas tertentu
memakai konsep dan metode sendiri, serta mampu menghasilkan teori baru bagi
pengembangan hukum islam, yang berbada sama sekali dengan rumusan-rumusan yang
telah lebih dahulu ada (muncul).
PENUTUP
Hazairin memakai metode induktif dan deduktif secara serentak didalam
menginterprestasikan teks Al-Qur’an dan Hadist. Dengan model seperti itu ia
memandang qiyas lebih sebagai kegiatan penalaran daripada sebagai dalil atau
sumber itu sendiri.
Potret yang
ditawarkan Hazairin adalah dalam medan hukum kewarisan. Menurutnya, konsep
hukum kewarisan Islam yang selama ini berjalan dengan menganut sistem
patrilineal(menarik keturunan hanya dari arah laki-laki saja). Itu sangat
dipengaruhi oleh konstruksi budaya Timur Tengah Arab yang juga demikian. Hukum
kewarisan dalm al-Qur’an, bagi Hazairin, esensinya menganut sistem biletral
yakni menarik dari pihak ayah dan ibu.
Pemikiran ini
muncul setelah ia melakukan penelitian atas ayat-ayat al-Qur’an tentang waris,
dan melakukan hipotesis (dugaan) bahwa bukan masyarakat yang berclan atau
parilinial yang dikehendaki dial-Qur’an, melainkan yang dikehendaki masyarakat
bilateral. Hipotesis ini didasarkan dan dilatarbelakangai oleh fenomena
perkawinan sahabat Alidan putra nabi, Fatimah az-Zahra, yang dibenarkan oleh
al-Qur’an. Dalam pandangan masyarakat ber-clan sebagaimana terjadi di Arab sebelum datangnya Islam, perkawinan
seperti ini disebut eksogami, jarang sekali
silakukan dianggap tabu, dan karena itu tidak dapat dibenarkan.
Pemikiran hukum
kewarisan bilateral yang ada dalam al-Qur’an ini telah memunculkan perspektif
sekaligus pandangan baru dalam rangkaian detail dan turunan angka pembagian
harta warisan.
[1] Sayuti Thalib,
Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: in Memoriam Prof. Mr. dr. Hazairin,
(Jakarta: UI Press,tt).
[2] Syamsul
Wahidin dan Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Akademika Presindo, 1984) hal, 87-88.
[3] Hazairin, Demokrasi
Pancasila, (Jakarta: tintamas, 1973) hal. 18-20.
[4] Hazairin, Hukum
Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Tintamas, 1982), hal 5-6.
[6] Hazairin, Hukum
Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadist, (Jakarta: Tintamas, 1982),
hal. 62.
0 comments
Post a Comment
IF YOU LIKE THIS ARTICLE, PLEASE SHARE OR LEAVE YOUR COMMENT ..