Munawir
Sjadzali lahir di Klaten 7 November 1925.
Telah mengikuti pendidikan di Madrasah
Menengah pertama/ tinggi Islam Mambaul Ulum Solo, beliau melanjutkan studi ke
Universitas Exter, Inggris dan pascasarjana
diselesaikan di Universitas Georgetown, Amerika Serikat. Pada tahun 1944-1945
menjadi guru di Sekolah
Dasar Islam Gunungpati, Ungaran- Semarang dan
ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan diberbagai tugas (1945-1949). Munawir
pernah bekerja di departemen luar negeri dan di tempatkan diseksi Arab / timur
tengah pada tahun 1950. Setelah menyelesaikan kuliahnya di Inggris (1953-1955), beliau diperbantukan pada
sekretariat bersama konferensi Asia-afrika (1954-1955) di Jakarta, lalu menjadi atase,
kemudian menjadi sekretaris III pada KBRI di Washinton DC, Amerika Serikat
tahun 1956-1959,
dan sejak tahun 1959-1976 banyak berada diluar negeri sewaktu bekerja di
Departemen Luar Negeri.
Pendirian
Munawir sejalan dengan pemikiran tokoh para rasionalis Islam di Indonesia,
seperti: Harun Nasution, Nurcholis Madjid, dan KH. Abdurrahman Wahid. Dikancah Internasional pemikirannya sejalur
dengan Fazlur Rahman, dan Ali Abdul Razak.
Jasa
paling besar munawir bagi dunia Intelektual Islam diantaranya membangun
landasan dalam penerapan metodologi pemikiran. Langkah pertamanya adalah pada
1986 ia mengambil keputusan untuk mengirim 6 dosen dari IAIN seJawa untuk
mengambil program pascasarjana di Amerika, yang mana hal itu menjadi gebrakan
yang mendatangkan pro dan kontra, pihak yang tidak sepakat menuduh tindakan
tersebut sebagai gerakan untuk menyekulerkan atau meliberalkan Islam di
Indonesia. Selain itu gagasan
baru yang dilontarkan munawir adalah menyatakan agar pembagian warisan tidak
lagi berbeda antara perempuan dan laki- laki, yang selama ini dua berbanding
satu. Gagasan ini lagi-lagi mengandung pro dan kontra. Dan munawir tetap
bersikap teguh dan dapat melewati semua hal tersebut.
Dalam percaturan intelektual Islam
Indonesia, Munawir sebenarnya datang
belakangan. Keterlibatan Munawir dalam gerakan wacana gerakan reaktualisasi
hukum Islam di Indonesia bahkan tidak bisa dipisahkan dari posisinya sebagai
Menteri Agama. Meskipun demikian, bukan berarti ia sama sekali tidak mengikuti
perkembangan Islam di Indonesia, baik dari segi perjuangan politik maupun segi
perkembangan pemikiran. Perhatiannya yang besar terhadap diskusi tentang
hubungan antara Islam dan negara, bukan hanya merupakan indikasi yang sulit
dibantah, tetapi juga menjadi semacam dorongan dalam dirinya untuk terlibat
dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia.
Munawir tidak hanya dikenal kritis
terhadap para pemimpin dan aktivis Islam yang mengajukan aspirasi mendirikan
negara Islam. Lebih dari itu, secara intensif ia melakukan studi, dengan
bersumber pada kitab-kitab klasik Islam, tentang konsep politik Islam. Tidak heran jika
dua tahun setelah diangkat menjadi menteri Agama, tepatnya akhir 1985, Munawir
melontarkan gagasan perlunya reaktualisasi hukum Islam. Dengan lontaran gagasan
ini Munawir kemudian terlibat aktif di dalam gerakan pembaharuan Islam di
Indonesia, bahkan dapat dikatakan salah satu eksponen gerakan pembaharuan Islam
di Indonesia, kontribusinya terhadap isi dan bentuk gerakan pembaharuan Islam
Indonesia, terutama dalam lingkungan intelektualisme Islam baru, jelas tidak
dapat diabaikan. Titik sentral pesan Munawir adalah mendorong komunitas Islam
untuk melakukan ijtihad secara berani dan jujur. Hanya dengan cara inilah,
menurutnya Islam bisa lebih responsif terhadap keperluan-keperluan lokal dan
temporal Indonesia.
Landasan hukum gagasan reaktualisasi
Munawir ialah dalam Al-Qur’an dan Hadis
Nabi. Menurutnya dalam kitab suci ini terdapat ayat-ayat yang berisikan
pergeseran atau bahkan pembatalan terhadap hukum-hukum atau petunjuk yang telah
diberikan dalam ayat-ayat yang diterima oleh nabi Muhammad saw, pada
waktu-waktu sebelumnya. Ringkasnya jika hanya dalam waktu kurang 22 tahun
terdapat pembaharuan maka mustahil selama 14 abad tidak terdapat hal itu. Gagasan
reaktualisasi Munawir didasari
pula pada tindakan Umar bin Khattab. Menurutnya selama Umar menjabat, beliau
telah mengambil banyak kebijakan dalam hukum yang tidak sepenuhnya sesuai
dengan bunyi ayat-ayat Al-Qur’an. Kasus
yang paling terkenal adalah ketika beliau menempuh kebijaksanaan dalam
pembagian rampasan perang yang tidak sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an (Q.S.
al-Anfal : 41). Kebijaksanaan
ini menurutnya, mendapat dukungan dari Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib,
dua sahabat senior Nabi yang kemudian bergiliran menggantikan Umar sebagai
khalifah dan pengelola urusan kenegaraan.
Reaktualisasi hukum Islam, Munawir
menyentuh pada persoalan kewarisan, budak dan bunga bank. Berikut uraian umum
mengenai ketiga hal tersebut, dan alasan mengapa Munawir melakukan
reaktualisasi.
1.
Kewarisan
Dalam pembagian harta warisan, Al-Qur’an An-Nissa’ : 11, dengan jelas mengatakan bahwa hak anak laki-laki
adalah dua kali lebih besar daripada hak anak perempuan.
Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan
oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung. Hal itu diketahui oleh
Munawir ketika mendapatkan kepercayaan menjabat sebagai menteri agama.
Ketika menjadi menteri agama, lanjut Munawir, saya
mendapat laporan dari banyak hakim agama di berbagai daerah termasuk
daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan
Selatan, tentang banyaknya penyimpangan dari ketentuan Al-Qur’an tersebut.
Para hakim agama menyaksikan, apabila seorang meninggal dunia, maka ahli
warisnya meminta fatwa kepada pengadilan agama untuk memberikan fatwa sesuai
dengan waris atau faraid. Namun demikian, fatwa ini tidak dipakai oleh
masyarakat tetapi meminta kepada pengadilan negeri agar diperlakukan sistem
pembagian yang lain, yang tidak sesuai dengan hukum faraid. Hal ini tidak hanya
dilakukan oleh orang awam, tetapi juga tokoh organisasi Islam yang menguasai
ilmu-ilmu keislaman.
Sementara itu, banyak kepala
keluarga mengambil kebijaksanaan pre-emptive, mereka tidak memberlakukan 2:1,
tetapi membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anaknya sama rata
sebelum meninggal dunia tanpa membedakan jenis kelamin, dengan alasan sebagai
hibah. Dengan
demikian maka pada waktu mereka meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal
sedikit, atau bahkan habis sama sekali. Harta yang sedikit itu dapat dibagi
sesuai dengan hukum faraid, sehingga tidak terjadi penyimpangan. Namun yang
menjadi masalah apakah perbuatan tersebut sudah melaksanakan ajaran agama yang
sah betul atau bahkan merupakan perbuatan yang main-main terhadap agama. Oleh
karenanya, Munawir mengemukakan gagasannya tentang reaktualisasi hukum Islam
dilatarbelakangi oleh sikap mendua yang dipraktekkan oleh masyarakat Islam
tersebut, baik terpelajar maupun awam. Beliau mengemukakan bahwa Al-Qur’an menganut
nasakh (pembatalan). Dengan demikian, bagian 2:1 bisa dinasakhkan atau
dibatalkan hukumnya. Hal ini didasarkan pada budaya dan adat Arab setempat,
maka hukum tersebut dapat digugurkan oleh hukum yang lebih sesuai dengan waktu
terakhir (adat baru). Seperti yang terjadi di Indonesia di mana wanita tidak
lagi di bawah lindungan laki-laki sebab mereka sudah mampu bekerja sendiri
(menjadi mitra).
Munawir mengemukakan gagasannya tentang reaktualisasi
hukum waris boleh jadi karena dia mempunyai pengalaman pribadi. Dimana pada
saat itu dia memiliki tiga orang anak lelaki dan tiga orang anak wanita. Tiga
anak lelakinya tersebut menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas
luar negeri dan biayanya ditanggung oleh Munawir sendiri, sedangkan dua dari
tiga anak perempuannya atas kemauan mereka sendiri tidak meneruskan ke
perguruan tinggi, tetapi hanya memilih dan belajar di sekolah kejuruan yang
jauh lebih murah biayanya. Persoalannya kemudian yang dipikirkan oleh Munawir
apakah anak lelaki saya yang sudah diongkosi mahal dan belajarnya di luar
negeri masih menerima dua kali lebih besar dari apa yang akan diterima anak
perempuan saya manakala saya meninggal dunia. Persoalan ini diajukan Munawir
kepada salah seorang ulama yang luas ilmu tentang agama. Ulama tersebut tidak
dapat memberikan fatwa. Beliau hanya memberitahukan apa yang beliau alami
sendiri dan ulama lain telah melakukannya. Mumpung masih hidup, lalu beliau
membagi sama rata harta kekayaannya kepada putra-putrinya
sebelum meninggal sebagai hibah. Dengan demikian kalau beliau meninggal sisa
sedikit yang harus dibagi menurut faraid.
Mendengar jawaban tersebut, Munawir kemudian termenung
sebentar lalu bertanya apakah dari segi keyakinan Islam kebijaksanaan tersebut
tidak lebih berbahaya. Sebab menurutnya, beliau membagi rata kekayaannya kepada
putra-putrinya sebagai hibah sebelum meninggal dunia. Dengan demikian ulama
tersebut tidak percaya kepada hukum faraid, sebab kalau percaya maka beliau
tidak menempuh jalan yang lain lagi. Hal ini banyak dilakukan oleh masyarakat
Islam dewasa ini. Menurut Munawir, cara berislam orang seperti itu mendua. Di
satu sisi, ia ingin tetap menjalankan hukum warisan Islam, tetapi di sisi lain
ia mencari jalan yang lebih memberi nilai keadilan sekaligus meragukan secara
tidak langsung nilai keadilan. Inilah yang mendorong Munawir melakukan reaktualisasi
hukum waris tersebut.
2.
Budak
Menurut Munawir dalam Al-Qur’an terdapat
beberapa ayat yang berisi pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai
penyalur alternatif bagi kebutuhan biologis kaum pria di samping istri. Namun
demikian, secara tidak langsung Munawir mengemukakan bahwa walaupun dalil
tersebut adalah nash sharih dan dalil Qath’i tetapi karena kondisi tidak
memungkinkan lagi dimana umat manusia sepakat untuk mengutuk perbudakan sebagai
musuh kemanusiaan, maka perbudakan tersebut harus dihapuskan. Alasannya, walaupun Nabi wafat dan belum menerima wahyu
untuk menghapus perbudakan secara tuntas, tetapi nabi Muhammad Saw selalu
menghimbau agar para pemilik budak berlaku lebih manusiawi terhadap budak-budak
mereka atau membebaskan mereka sama sekali.
Beliau juga mengemukakan bahwa
benar Nabi belum menerima wahyu yang menghapuskan perbudakan yang sangat
berakar di masyarakat sehingga tidak dapat dihapuskan sama sekali. Artinya,
adanya perbudakan terkait dengan budaya dan adat serta tempat. Dengan munculnya
adat baru, yakni penolakan terhadap perbudakan, maka soal budak ini dengan
sendirinya menjadi hilang pula. Namun demikian, di satu pihak masih ada pihak
yang masih menginginkan untuk memberlakukan ayat-ayat tentang perbudakan secara
tekstual, sebab ia khawatir akan terancamnya keutuhan dan universalitas ajaran
Islam. Menurut Munawir jika pendapat ini diterima dan sistem perbudakan
dipertahankan sesuai dengan sharihnya ayat, maka Islam kesulitan menghadapi Hak
Azasi Manusia (HAM), sebab HAM yang paling asasi atau hak untuk hidup sebagai
manusia merdeka.
Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa Munawir tidak menyetujui dan ingin menghapuskan perbudakan, sebab
perbudakan tersebut tidak menghargai hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan
kesepakatan umat manusia dewasa ini. Seandainya Nabi tidak khawatir terhadap
reaksi masyarakat pada waktu itu karena berakarnya perbudakan, maka beliau
sudah menghapus dan menghilangkan perbudakan.
3.
Bunga Bank
Salah satu masalah yang diperdebatkan oleh pakar-pakar
hukum dewasa ini adalah masalah bunga
bank. Dari hasil perdebatan tersebut ditemukan tiga kesimpulan. Di antara
mereka ada yang mengharamkannya, ada yang menganggapnya subhat, dan adapula
yang menganggapnya mubah. Selain pendapat tersebut, ada juga yang mengatakan
bahwa bunga bank itu halal.
Di antara ulama yang mangatakan
bahwa bunga bank itu halal adalah Munawir, beliau mengatakan bahwa di kalangan
umat Islam dewasa ini, masih banyak yang berpendirian bahwa bunga bank adalah
interest dalam bank termasuk riba, sehingga haram hukumnya. Mereka yang
berpendirian demikian tidak hanya hidup dari bunga deposito (termasuk bunga
tabungan), hanya menggunakan jasa bank dan tidak sedikit mendirikan bank dengan
sistem bunga, alasan yang dikemukakannya adalah darurah (terpaksa). Alasan ini
tidak sejalan dengan QS. Al-Baqarah (2) : 173 yang memberi kelonggaran karena
tidak terpenuhinya kriteria, yakni tidak sengaja dan sekedar memenuhi kebutuhan
esensial.
Ketika Munawir menyampaikan
sambutannya dalam peringatan ulang tahun Muhammadiyah di Jogyakarta, beliau
mengatakan bahwa dalam rangka tajdid yang menjadi salah satu ciri gerakan
pembaharuan oleh Muhammadiyah apakah persoalan bank dalam Islam masih perlu
di-tawaqquf-kan atau ditangguhkan pembahasannya oleh Majelis Tarjih
Muhammadiyah ? kemudian beliau melanjutkan pertanyaannya bahwa kita setiap hari
dalam kegiatan ekonomi dan untuk menyetor ongkos naik haji selalu melakukannya
sekarang ini melalui bank. Apakah kebolehan penggunaan bank itu hanya dengan
alasan darurah ?
Memang dari kalangan ulama ada juga yang tampaknya condong ke arah pendapat bahwa perbankan dihalalkan dengan alasan diperlukan dalam kehidupan ekonomi dewasa ini. Namun dalam rangka reaktualisasi syari’at Islam sebagaimana hal itu bila dihadapkan dengan nash-nash agama larangan melakukan riba. Di antara ulama yang dapat menerima halalnya bunga bank dengan alasan dihajatkan merujuk pada keterangan pada ushul fiqh (metodologi yurisprudensi Islam) bahwa di samping perubahan hukum karena darurah, juga dibolehkan banyak hal karena hajat. Misalnya melihat wajah wanita yang bukan muhrimnya terlarang (haram) dalam pendapat kebanyakan ulama mazhab Syafi’i.
Memang dari kalangan ulama ada juga yang tampaknya condong ke arah pendapat bahwa perbankan dihalalkan dengan alasan diperlukan dalam kehidupan ekonomi dewasa ini. Namun dalam rangka reaktualisasi syari’at Islam sebagaimana hal itu bila dihadapkan dengan nash-nash agama larangan melakukan riba. Di antara ulama yang dapat menerima halalnya bunga bank dengan alasan dihajatkan merujuk pada keterangan pada ushul fiqh (metodologi yurisprudensi Islam) bahwa di samping perubahan hukum karena darurah, juga dibolehkan banyak hal karena hajat. Misalnya melihat wajah wanita yang bukan muhrimnya terlarang (haram) dalam pendapat kebanyakan ulama mazhab Syafi’i.
Terkait dengan hal tersebut,
apabila diperhatikan perndapat Munawir, maka ia lebih condong ke arah penerimaan
bank biasa dengan alasan hajat tadi, namun beliau tetap akomodatif terhadap
pembentukan bank Mu’amalah dan bank BPR Syariah dengan prinsip kongsi dagang
(syirkah atau mudharabah) seraya mengindahkan peraturan perbankan yang berlaku.
· Rekonstruksi
Konsep Qath’i – Zhanni
Sebagaimana sudah sering diungkap dalam
berbagai buku epistimologi hukum Islam, bahwa konsep Qath’i–Zhanni merupakan
teori pokok yang dikembangkan oleh para ulama untuk memahami al-Qur’an dan
Hadits dalam perspektif penalaran fiqih sebagai istilah, konsep Qath’i–Zhanni
tidak dapat ditemukan dalam Al-Qur’an
dan Hadis, kedua term ini menjadi aman dari gugatan karena keserupaannya yang
kuat dengan kategori Muhkam-Mutasyabbih yang secara eksplisit telah
diintrodusir Al-Qur’an,
keduanya sama-sama berangkat dari sudut semantic (bahasa), bukan dari sudut ide
(substansi). Bedanya Qath’i-Zhanni digunakan untuk memahami ayat-ayat hukum
sedangkan Muhkam-Mutasyabbih digunakan untuk memahami ayat-ayat non-hukum.
Untuk bisa
melahirkan satu format hukum Islam yang eksistensinya mematrik pada
kemaslahatan universal, menghargai rasa keadilan sosial dan hak-hak asasi
manusia, maka ijtihad menjadi ikhtiar pertama yang mutlak harus dilakukan. Dengan
meletakkan Maslahah sebagai asas ijtihad maka konsep lama tentang
Qath’i-Zhanni harus segera dicarikan rumusan barunya. Disinilah pentingnya
rekonstruksi konsep Qath’i-Zhanni
agar lebih punya tenaga dalam memberikan kontitum pemecahan berbagai masalah.
Apa yang di
sebut sebagai dalil Qath’I adalah nilai kemaslahatan dan keadilan yang
merupakan jiwa hukum itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil Zhanni
adalah seluruh keutuhan teks, keutuhan normatif yang bisa digunakan untuk
menterjemahkan yang Qath’I dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, benar adanya
jika dikatakan bahwa ijtihad tidak bisa terjadi pada wilayah Qath’I dan hanya
bisa dilakukan pada wilayah Zhanni.
Berdasarkan
hal ini maka hukum potong tangan bagi pencuri, lempar batu bagi pezina,
persentase jumlah pembagian waris, talak, dan ketentuan-ketentuan teknis lain
yang bersifat nonetis, masuk kategori nas yang Zhanni, ketentuan-ketentuan ini
pada gilirannya akan mengalami perubahan, sebab perubahan atas ketentuan-ketentuan
syara (baik Al-Qur’an maupun Hadis, terutama hasil Ijtihad ulama) yang bersifat
teknis secara teoritis adalah mungkin dan bisa, meskipun tidak harus.
Secara
eksplisit, rekonstruksi konsep Qath’i-Zhanni ini akan mengancam ketentuan yang
formal, kecenderungan yang begitu kuat dalam mengubah ketentuan-ketentuan yang
bersifat teknis ini, dengan sendirinya akan menanggalkan banyak ketentuan
legal-formal, karena dipandang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan legal-formal,
bagaimanapun harus menjadi acuan tingkah laku masyarkat.
Segala persoalan yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat harus ditundukkan pada ketentuan legal formal yang berlaku
dan sah. Akan tetapi pada saat yang sama hendaknya selalu disadari bahwa
patokan formal atau legal haruslah selalu tunduk pada cita kemaslahatn yang
hidup dalam nurani masyarakat.
· Hermeneutika
Munculnya
pemikiran pembaharuan hukum Islam Munawir sebenarnya berangkat dari beberapa
pandangan dasar, yakni : Pertama, bahwa pintu ijtihad selalau terbuka. Kedua, di dalam Al-Qur’an dan Hadits terdapat nash. Ketiga, hukum Islam bersifat elastis dan
dinamis. Keempat,
kemaslahatan dan keadilan merupakan tujuan syariat; dan Kelima, keadilan adalah dasar
kemaslahatan.
Dengan mengacu pada pandangan-pandangan ini maka
terlihat bahwa metode penafsiran dan penemuan hukum yang selama ini telah
berjalan terasa ketinggalan zaman sehingga satu tuntutan metode baru yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan berbagai masalah aktual
menjadi sangat mendesak dan mutlak diperlukan dalam hal ini. Munawir memandang perlu dipakainya
hermeneutika dalam segala gerak penafsiran teks baik Al-Qur’an maupun Hadits.
Dari surat Al-Maidah ayat 3, yaitu :
Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu Jadi agama bagimu.
Dapat disimpulkan
bahwa Islam adalah agama yang dibawa nabi Muhammad Saw sudah sempurna,
kesempurnaan itu termasuk watak atau sifat Islam yang dinamis suatu agama yang
hanya dalam waktu sekitar 23 tahun dalam kitab sucinya telah terjadi banyak
nash. Yakni turunnya wahyu yang mengandung pembatalan atau kualifikasi terhadap
petunjuk atau hukum yang diberikan oleh wahyu-wahyu yang datang sebelumnya,
ditambah kebijakkan Nabi yang tidak jarang bergeser, baik yang didasarkan atas
prinsip penahapan dalam pelaksanaan millah
Muhammad ataupun karena perubahan keadaan.
Seorang muffasir
terkenal Sayyid Qutub menyatakan bahwa kemungkinan perubahan itu tidak saja
selama Nabi masih hidup tetapi juga bagi umat Islam sepeninggal beliau. Bahkan
Nabi sendiri telah memperhitungkan bahwa dari zaman ke zaman akan mengalami
perubahan.
Sampai di sini
keberadaan hermeneutika sangat bermanfaat untuk melapisi usaha reinterpretasi
ajaran agama. Sebagai sarana penafsiran baru, metode ini diharapkan mampu memandu
dalam memberikan pemahaman yang padu antara teks, konteks dan realitas.
Munawwir sendiri tidak menyebut metode atau cara yang dipakainya dengan
hermeneutika, akan tetapi dia lebih suka menyebutnya dengan “peran akal
terhadap wahyu”. Peran
akal dalam beragama, dalam memahami arti Al-Qur’an dan Hadits Nabi juga amat ditekankan
oleh Al-Qur’an. Bahwa akal yang merupakan
kelengkapan pemberian Allah yang paling berharga kepada umat manusia itu
dipergunakan untuk memahami dan menjabarkan isi Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Pemahaman dan
pelaksanaan ajaran agama oleh ilmuan dan masyarakat pada zaman tertentu tidak
harus sama dengan pemahaman dan pengalaman pada zaman lain, juga sering
didengar adanya kekhawatiran bahwa kebebasan berfikir dapat menjurus kearah
berfikir yang anarki. Menurut
Munawir kekhawatiran itu dapat dimengerti dan anarki berfikir dalam bidang
agama dapat membahayakan keutuhan ajaran agama. Tetapi sebaliknya, jika agama
diartikan secara kaku dan baku tanpa memperhatikan perkembangan dan perubahan
masyarakat yang telah terjadi, serta perbedaan lingkungan dan latar belakang
sejarah dan budaya antara umat Islam yang beragama, akan membuat ajaran dan
hukum Islam kehilangan relevansi dengan dunia dimana kita hidup tingkat
peradaban serta kemajuan intelektualitas manusia di zaman ini. Akibatnya antara
lain hukum Islam tidak lagi berperan sebagai pedoman atau pemandu, baik dalam
kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat umat Islam sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Munawir Sjazdali.
1995. Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta
: Paramadina.
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali.
2008. Islam dan Tata Negara. Jakarta
: Universitas Indonesia (UI-Press).
Jalaluddin Rahmat. 1996. Ijtihad Dalam Sorotan, Seri Kumpulan Makalah
Cendikiawan Muslim; Tentang Biografi Tokoh. Bandung : Mizan.
Laily Jum’ati Khairiyah. 2006. Pembaharuan Hukum Islam Munawir Sjazdali dan
Sahal Mahfudz serta pengaruhnya terhadap Hukum Islam di Indonesia.
Yogyakarta : Skripsi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga.
http///.www.kabuju.blogspot/munawwir-syadzali-reaktualisasi-hukum.html
0 comments
Post a Comment
IF YOU LIKE THIS ARTICLE, PLEASE SHARE OR LEAVE YOUR COMMENT ..