2013-01-20

PEMIKIRAN ISLAM MUNAWIR SJADZALI



Munawir Sjadzali lahir di Klaten 7 November 1925. Telah mengikuti pendidikan di Madrasah Menengah pertama/ tinggi Islam Mambaul Ulum Solo, beliau melanjutkan studi ke Universitas Exter, Inggris dan pascasarjana diselesaikan di Universitas Georgetown, Amerika Serikat. Pada tahun 1944-1945 menjadi guru di Sekolah Dasar Islam Gunungpati, Ungaran- Semarang dan ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan diberbagai tugas (1945-1949). Munawir pernah bekerja di departemen luar negeri dan di tempatkan diseksi Arab / timur tengah pada tahun 1950. Setelah menyelesaikan kuliahnya di Inggris (1953-1955), beliau diperbantukan pada sekretariat bersama konferensi Asia-afrika (1954-1955) di Jakarta, lalu menjadi atase, kemudian menjadi sekretaris III pada KBRI di Washinton DC, Amerika Serikat tahun 1956-1959, dan sejak tahun 1959-1976 banyak berada diluar negeri sewaktu bekerja di Departemen Luar Negeri.
Pendirian Munawir sejalan dengan pemikiran tokoh para rasionalis Islam di Indonesia, seperti: Harun Nasution, Nurcholis Madjid, dan KH. Abdurrahman Wahid. Dikancah Internasional pemikirannya sejalur dengan Fazlur Rahman, dan Ali Abdul Razak.

Jasa paling besar munawir bagi dunia Intelektual Islam diantaranya membangun landasan dalam penerapan metodologi pemikiran. Langkah pertamanya adalah pada 1986 ia mengambil keputusan untuk mengirim 6 dosen dari IAIN seJawa untuk mengambil program pascasarjana di Amerika, yang mana hal itu menjadi gebrakan yang mendatangkan pro dan kontra, pihak yang tidak sepakat menuduh tindakan tersebut sebagai gerakan untuk menyekulerkan atau meliberalkan Islam di Indonesia. Selain itu gagasan baru yang dilontarkan munawir adalah menyatakan agar pembagian warisan tidak lagi berbeda antara perempuan dan laki- laki, yang selama ini dua berbanding satu. Gagasan ini lagi-lagi mengandung pro dan kontra. Dan munawir tetap bersikap teguh dan dapat melewati semua hal tersebut.
Dalam percaturan intelektual Islam Indonesia, Munawir sebenarnya datang belakangan. Keterlibatan Munawir dalam gerakan wacana gerakan reaktualisasi hukum Islam di Indonesia bahkan tidak bisa dipisahkan dari posisinya sebagai Menteri Agama. Meskipun demikian, bukan berarti ia sama sekali tidak mengikuti perkembangan Islam di Indonesia, baik dari segi perjuangan politik maupun segi perkembangan pemikiran. Perhatiannya yang besar terhadap diskusi tentang hubungan antara Islam dan negara, bukan hanya merupakan indikasi yang sulit dibantah, tetapi juga menjadi semacam dorongan dalam dirinya untuk terlibat dalam kancah pemikiran Islam di Indonesia.
Munawir tidak hanya dikenal kritis terhadap para pemimpin dan aktivis Islam yang mengajukan aspirasi mendirikan negara Islam. Lebih dari itu, secara intensif ia melakukan studi, dengan bersumber pada kitab-kitab klasik Islam, tentang konsep politik Islam. Tidak heran jika dua tahun setelah diangkat menjadi menteri Agama, tepatnya akhir 1985, Munawir melontarkan gagasan perlunya reaktualisasi hukum Islam. Dengan lontaran gagasan ini Munawir kemudian terlibat aktif di dalam gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, bahkan dapat dikatakan salah satu eksponen gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, kontribusinya terhadap isi dan bentuk gerakan pembaharuan Islam Indonesia, terutama dalam lingkungan intelektualisme Islam baru, jelas tidak dapat diabaikan. Titik sentral pesan Munawir adalah mendorong komunitas Islam untuk melakukan ijtihad secara berani dan jujur. Hanya dengan cara inilah, menurutnya Islam bisa lebih responsif terhadap keperluan-keperluan lokal dan temporal Indonesia.
Landasan hukum gagasan reaktualisasi Munawir ialah dalam Al-Quran dan Hadis Nabi. Menurutnya dalam kitab suci ini terdapat ayat-ayat yang berisikan pergeseran atau bahkan pembatalan terhadap hukum-hukum atau petunjuk yang telah diberikan dalam ayat-ayat yang diterima oleh nabi Muhammad saw, pada waktu-waktu sebelumnya. Ringkasnya jika hanya dalam waktu kurang 22 tahun terdapat pembaharuan maka mustahil selama 14 abad tidak terdapat hal itu. Gagasan reaktualisasi Munawir didasari pula pada tindakan Umar bin Khattab. Menurutnya selama Umar menjabat, beliau telah mengambil banyak kebijakan dalam hukum yang tidak sepenuhnya sesuai dengan bunyi ayat-ayat Al-Quran. Kasus yang paling terkenal adalah ketika beliau menempuh kebijaksanaan dalam pembagian rampasan perang yang tidak sesuai dengan petunjuk Al-Quran (Q.S. al-Anfal : 41). Kebijaksanaan ini menurutnya, mendapat dukungan dari Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat senior Nabi yang kemudian bergiliran menggantikan Umar sebagai khalifah dan pengelola urusan kenegaraan.
Reaktualisasi hukum Islam, Munawir menyentuh pada persoalan kewarisan, budak dan bunga bank. Berikut uraian umum mengenai ketiga hal tersebut, dan alasan mengapa Munawir melakukan reaktualisasi.
 
1.        Kewarisan
Dalam pembagian harta warisan, Al-Quran An-Nissa’ : 11, dengan jelas mengatakan bahwa hak anak laki-laki adalah dua kali lebih besar daripada hak anak perempuan.

Tetapi ketentuan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Islam Indonesia, baik secara langsung. Hal itu diketahui oleh Munawir ketika mendapatkan kepercayaan menjabat sebagai menteri agama.
Ketika menjadi menteri agama, lanjut Munawir, saya mendapat laporan dari banyak hakim agama di berbagai daerah termasuk daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang banyaknya penyimpangan dari ketentuan Al-Quran tersebut. Para hakim agama menyaksikan, apabila seorang meninggal dunia, maka ahli warisnya meminta fatwa kepada pengadilan agama untuk memberikan fatwa sesuai dengan waris atau faraid. Namun demikian, fatwa ini tidak dipakai oleh masyarakat tetapi meminta kepada pengadilan negeri agar diperlakukan sistem pembagian yang lain, yang tidak sesuai dengan hukum faraid. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh orang awam, tetapi juga tokoh organisasi Islam yang menguasai ilmu-ilmu keislaman.  
Sementara itu, banyak kepala keluarga mengambil kebijaksanaan pre-emptive, mereka tidak memberlakukan 2:1, tetapi membagikan sebagian besar dari kekayaannya kepada anak-anaknya sama rata sebelum meninggal dunia tanpa membedakan jenis kelamin, dengan alasan sebagai hibah. Dengan demikian maka pada waktu mereka meninggal, kekayaan yang harus dibagi tinggal sedikit, atau bahkan habis sama sekali. Harta yang sedikit itu dapat dibagi sesuai dengan hukum faraid, sehingga tidak terjadi penyimpangan. Namun yang menjadi masalah apakah perbuatan tersebut sudah melaksanakan ajaran agama yang sah betul atau bahkan merupakan perbuatan yang main-main terhadap agama. Oleh karenanya, Munawir mengemukakan gagasannya tentang reaktualisasi hukum Islam dilatarbelakangi oleh sikap mendua yang dipraktekkan oleh masyarakat Islam tersebut, baik terpelajar maupun awam. Beliau mengemukakan bahwa Al-Quran menganut nasakh (pembatalan). Dengan demikian, bagian 2:1 bisa dinasakhkan atau dibatalkan hukumnya. Hal ini didasarkan pada budaya dan adat Arab setempat, maka hukum tersebut dapat digugurkan oleh hukum yang lebih sesuai dengan waktu terakhir (adat baru). Seperti yang terjadi di Indonesia di mana wanita tidak lagi di bawah lindungan laki-laki sebab mereka sudah mampu bekerja sendiri (menjadi mitra).
Munawir mengemukakan gagasannya tentang reaktualisasi hukum waris boleh jadi karena dia mempunyai pengalaman pribadi. Dimana pada saat itu dia memiliki tiga orang anak lelaki dan tiga orang anak wanita. Tiga anak lelakinya tersebut menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas luar negeri dan biayanya ditanggung oleh Munawir sendiri, sedangkan dua dari tiga anak perempuannya atas kemauan mereka sendiri tidak meneruskan ke perguruan tinggi, tetapi hanya memilih dan belajar di sekolah kejuruan yang jauh lebih murah biayanya. Persoalannya kemudian yang dipikirkan oleh Munawir apakah anak lelaki saya yang sudah diongkosi mahal dan belajarnya di luar negeri masih menerima dua kali lebih besar dari apa yang akan diterima anak perempuan saya manakala saya meninggal dunia. Persoalan ini diajukan Munawir kepada salah seorang ulama yang luas ilmu tentang agama. Ulama tersebut tidak dapat memberikan fatwa. Beliau hanya memberitahukan apa yang beliau alami sendiri dan ulama lain telah melakukannya. Mumpung masih hidup, lalu beliau membagi sama rata harta kekayaannya kepada putra-putrinya sebelum meninggal sebagai hibah. Dengan demikian kalau beliau meninggal sisa sedikit yang harus dibagi menurut faraid.
Mendengar jawaban tersebut, Munawir kemudian termenung sebentar lalu bertanya apakah dari segi keyakinan Islam kebijaksanaan tersebut tidak lebih berbahaya. Sebab menurutnya, beliau membagi rata kekayaannya kepada putra-putrinya sebagai hibah sebelum meninggal dunia. Dengan demikian ulama tersebut tidak percaya kepada hukum faraid, sebab kalau percaya maka beliau tidak menempuh jalan yang lain lagi. Hal ini banyak dilakukan oleh masyarakat Islam dewasa ini. Menurut Munawir, cara berislam orang seperti itu mendua. Di satu sisi, ia ingin tetap menjalankan hukum warisan Islam, tetapi di sisi lain ia mencari jalan yang lebih memberi nilai keadilan sekaligus meragukan secara tidak langsung nilai keadilan. Inilah yang mendorong Munawir melakukan reaktualisasi hukum waris tersebut.

2.        Budak
Menurut Munawir dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang berisi pemberian izin penggunaan budak-budak sahaya sebagai penyalur alternatif bagi kebutuhan biologis kaum pria di samping istri. Namun demikian, secara tidak langsung Munawir mengemukakan bahwa walaupun dalil tersebut adalah nash sharih dan dalil Qath’i tetapi karena kondisi tidak memungkinkan lagi dimana umat manusia sepakat untuk mengutuk perbudakan sebagai musuh kemanusiaan, maka perbudakan tersebut harus dihapuskan. Alasannya, walaupun Nabi wafat dan belum menerima wahyu untuk menghapus perbudakan secara tuntas, tetapi nabi Muhammad Saw selalu menghimbau agar para pemilik budak berlaku lebih manusiawi terhadap budak-budak mereka atau membebaskan mereka sama sekali.
Beliau juga mengemukakan bahwa benar Nabi belum menerima wahyu yang menghapuskan perbudakan yang sangat berakar di masyarakat sehingga tidak dapat dihapuskan sama sekali. Artinya, adanya perbudakan terkait dengan budaya dan adat serta tempat. Dengan munculnya adat baru, yakni penolakan terhadap perbudakan, maka soal budak ini dengan sendirinya menjadi hilang pula. Namun demikian, di satu pihak masih ada pihak yang masih menginginkan untuk memberlakukan ayat-ayat tentang perbudakan secara tekstual, sebab ia khawatir akan terancamnya keutuhan dan universalitas ajaran Islam. Menurut Munawir jika pendapat ini diterima dan sistem perbudakan dipertahankan sesuai dengan sharihnya ayat, maka Islam kesulitan menghadapi Hak Azasi Manusia (HAM), sebab HAM yang paling asasi atau hak untuk hidup sebagai manusia merdeka.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Munawir tidak menyetujui dan ingin menghapuskan perbudakan, sebab perbudakan tersebut tidak menghargai hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan kesepakatan umat manusia dewasa ini. Seandainya Nabi tidak khawatir terhadap reaksi masyarakat pada waktu itu karena berakarnya perbudakan, maka beliau sudah menghapus dan menghilangkan perbudakan. 

3.        Bunga Bank
Salah satu masalah yang diperdebatkan oleh pakar-pakar hukum dewasa ini adalah masalah bunga bank. Dari hasil perdebatan tersebut ditemukan tiga kesimpulan. Di antara mereka ada yang mengharamkannya, ada yang menganggapnya subhat, dan adapula yang menganggapnya mubah. Selain pendapat tersebut, ada juga yang mengatakan bahwa bunga bank itu halal.
Di antara ulama yang mangatakan bahwa bunga bank itu halal adalah Munawir, beliau mengatakan bahwa di kalangan umat Islam dewasa ini, masih banyak yang berpendirian bahwa bunga bank adalah interest dalam bank termasuk riba, sehingga haram hukumnya. Mereka yang berpendirian demikian tidak hanya hidup dari bunga deposito (termasuk bunga tabungan), hanya menggunakan jasa bank dan tidak sedikit mendirikan bank dengan sistem bunga, alasan yang dikemukakannya adalah darurah (terpaksa). Alasan ini tidak sejalan dengan QS. Al-Baqarah (2) : 173 yang memberi kelonggaran karena tidak terpenuhinya kriteria, yakni tidak sengaja dan sekedar memenuhi kebutuhan esensial.
Ketika Munawir menyampaikan sambutannya dalam peringatan ulang tahun Muhammadiyah di Jogyakarta, beliau mengatakan bahwa dalam rangka tajdid yang menjadi salah satu ciri gerakan pembaharuan oleh Muhammadiyah apakah persoalan bank dalam Islam masih perlu di-tawaqquf-kan atau ditangguhkan pembahasannya oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah ? kemudian beliau melanjutkan pertanyaannya bahwa kita setiap hari dalam kegiatan ekonomi dan untuk menyetor ongkos naik haji selalu melakukannya sekarang ini melalui bank. Apakah kebolehan penggunaan bank itu hanya dengan alasan darurah ?
Memang dari kalangan ulama ada juga yang tampaknya condong ke arah pendapat bahwa perbankan dihalalkan dengan alasan diperlukan dalam kehidupan ekonomi dewasa ini.
Namun dalam rangka reaktualisasi syari’at Islam sebagaimana hal itu bila dihadapkan dengan nash-nash agama larangan melakukan riba. Di antara ulama yang dapat menerima halalnya bunga bank dengan alasan dihajatkan merujuk pada keterangan pada ushul fiqh (metodologi yurisprudensi Islam) bahwa di samping perubahan hukum karena darurah, juga dibolehkan banyak hal karena hajat. Misalnya melihat wajah wanita yang bukan muhrimnya terlarang (haram) dalam pendapat kebanyakan ulama mazhab Syafi’i.
Terkait dengan hal tersebut, apabila diperhatikan perndapat Munawir, maka ia lebih condong ke arah penerimaan bank biasa dengan alasan hajat tadi, namun beliau tetap akomodatif terhadap pembentukan bank Mu’amalah dan bank BPR Syariah dengan prinsip kongsi dagang (syirkah atau mudharabah) seraya mengindahkan peraturan perbankan yang berlaku. 

·      Rekonstruksi Konsep Qath’i – Zhanni
Sebagaimana sudah sering diungkap dalam berbagai buku epistimologi hukum Islam, bahwa konsep Qath’i–Zhanni merupakan teori pokok yang dikembangkan oleh para ulama untuk memahami al-Qur’an dan Hadits dalam perspektif penalaran fiqih sebagai istilah, konsep Qath’i–Zhanni tidak dapat ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadis, kedua term ini menjadi aman dari gugatan karena keserupaannya yang kuat dengan kategori Muhkam-Mutasyabbih yang secara eksplisit telah diintrodusir Al-Qur’an, keduanya sama-sama berangkat dari sudut semantic (bahasa), bukan dari sudut ide (substansi). Bedanya Qath’i-Zhanni digunakan untuk memahami ayat-ayat hukum sedangkan Muhkam-Mutasyabbih digunakan untuk memahami ayat-ayat non-hukum.
Untuk bisa melahirkan satu format hukum Islam yang eksistensinya mematrik pada kemaslahatan universal, menghargai rasa keadilan sosial dan hak-hak asasi manusia, maka ijtihad menjadi ikhtiar pertama yang mutlak harus dilakukan. Dengan meletakkan Maslahah sebagai asas ijtihad maka konsep lama tentang Qath’i-Zhanni harus segera dicarikan rumusan barunya. Disinilah pentingnya rekonstruksi konsep Qath’i-Zhanni agar lebih punya tenaga dalam memberikan kontitum pemecahan berbagai masalah.
Apa yang di sebut sebagai dalil Qath’I adalah nilai kemaslahatan dan keadilan yang merupakan jiwa hukum itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil Zhanni adalah seluruh keutuhan teks, keutuhan normatif yang bisa digunakan untuk menterjemahkan yang Qath’I dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, benar adanya jika dikatakan bahwa ijtihad tidak bisa terjadi pada wilayah Qath’I dan hanya bisa dilakukan pada wilayah Zhanni.
Berdasarkan hal ini maka hukum potong tangan bagi pencuri, lempar batu bagi pezina, persentase jumlah pembagian waris, talak, dan ketentuan-ketentuan teknis lain yang bersifat nonetis, masuk kategori nas yang Zhanni, ketentuan-ketentuan ini pada gilirannya akan mengalami perubahan, sebab perubahan atas ketentuan-ketentuan syara (baik Al-Qur’an maupun Hadis, terutama hasil Ijtihad ulama) yang bersifat teknis secara teoritis adalah mungkin dan bisa, meskipun tidak harus.
Secara eksplisit, rekonstruksi konsep Qath’i-Zhanni ini akan mengancam ketentuan yang formal, kecenderungan yang begitu kuat dalam mengubah ketentuan-ketentuan yang bersifat teknis ini, dengan sendirinya akan menanggalkan banyak ketentuan legal-formal, karena dipandang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan legal-formal, bagaimanapun harus menjadi acuan tingkah laku masyarkat.
Segala persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat harus ditundukkan pada ketentuan legal formal yang berlaku dan sah. Akan tetapi pada saat yang sama hendaknya selalu disadari bahwa patokan formal atau legal haruslah selalu tunduk pada cita kemaslahatn yang hidup dalam nurani masyarakat.    
·      Hermeneutika
Munculnya pemikiran pembaharuan hukum Islam Munawir sebenarnya berangkat dari beberapa pandangan dasar, yakni : Pertama, bahwa pintu ijtihad selalau terbuka. Kedua, di dalam Al-Quran dan Hadits terdapat nash. Ketiga, hukum Islam bersifat elastis dan dinamis. Keempat, kemaslahatan dan keadilan merupakan tujuan syariat; dan Kelima, keadilan adalah dasar kemaslahatan.
Dengan mengacu pada pandangan-pandangan ini maka terlihat bahwa metode penafsiran dan penemuan hukum yang selama ini telah berjalan terasa ketinggalan zaman sehingga satu tuntutan metode baru yang dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah aktual menjadi sangat mendesak dan mutlak diperlukan dalam hal ini. Munawir memandang perlu dipakainya hermeneutika dalam segala gerak penafsiran teks baik Al-Quran maupun Hadits.
Dari surat Al-Maidah ayat 3, yaitu :

Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.
Dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang dibawa nabi Muhammad Saw sudah sempurna, kesempurnaan itu termasuk watak atau sifat Islam yang dinamis suatu agama yang hanya dalam waktu sekitar 23 tahun dalam kitab sucinya telah terjadi banyak nash. Yakni turunnya wahyu yang mengandung pembatalan atau kualifikasi terhadap petunjuk atau hukum yang diberikan oleh wahyu-wahyu yang datang sebelumnya, ditambah kebijakkan Nabi yang tidak jarang bergeser, baik yang didasarkan atas prinsip penahapan dalam pelaksanaan millah Muhammad ataupun karena perubahan keadaan.
Seorang muffasir terkenal Sayyid Qutub menyatakan bahwa kemungkinan perubahan itu tidak saja selama Nabi masih hidup tetapi juga bagi umat Islam sepeninggal beliau. Bahkan Nabi sendiri telah memperhitungkan bahwa dari zaman ke zaman akan mengalami perubahan.
Sampai di sini keberadaan hermeneutika sangat bermanfaat untuk melapisi usaha reinterpretasi ajaran agama. Sebagai sarana penafsiran baru, metode ini diharapkan mampu memandu dalam memberikan pemahaman yang padu antara teks, konteks dan realitas. Munawwir sendiri tidak menyebut metode atau cara yang dipakainya dengan hermeneutika, akan tetapi dia lebih suka menyebutnya dengan “peran akal terhadap wahyu”. Peran akal dalam beragama, dalam memahami arti Al-Quran dan Hadits Nabi juga amat ditekankan oleh Al-Quran. Bahwa akal yang merupakan kelengkapan pemberian Allah yang paling berharga kepada umat manusia itu dipergunakan untuk memahami dan menjabarkan isi Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama oleh ilmuan dan masyarakat pada zaman tertentu tidak harus sama dengan pemahaman dan pengalaman pada zaman lain, juga sering didengar adanya kekhawatiran bahwa kebebasan berfikir dapat menjurus kearah berfikir yang anarki. Menurut Munawir kekhawatiran itu dapat dimengerti dan anarki berfikir dalam bidang agama dapat membahayakan keutuhan ajaran agama. Tetapi sebaliknya, jika agama diartikan secara kaku dan baku tanpa memperhatikan perkembangan dan perubahan masyarakat yang telah terjadi, serta perbedaan lingkungan dan latar belakang sejarah dan budaya antara umat Islam yang beragama, akan membuat ajaran dan hukum Islam kehilangan relevansi dengan dunia dimana kita hidup tingkat peradaban serta kemajuan intelektualitas manusia di zaman ini. Akibatnya antara lain hukum Islam tidak lagi berperan sebagai pedoman atau pemandu, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat umat Islam sekarang.


DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Munawir Sjazdali. 1995. Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta : Paramadina.
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali. 2008. Islam dan Tata Negara. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press).
Jalaluddin Rahmat. 1996. Ijtihad Dalam Sorotan, Seri Kumpulan Makalah Cendikiawan Muslim; Tentang Biografi Tokoh. Bandung : Mizan.  
Laily Jum’ati Khairiyah. 2006. Pembaharuan Hukum Islam Munawir Sjazdali dan Sahal Mahfudz serta pengaruhnya terhadap Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta : Skripsi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga.
http///.www.kabuju.blogspot/munawwir-syadzali-reaktualisasi-hukum.html




Related Posts

0 comments

Post a Comment

IF YOU LIKE THIS ARTICLE, PLEASE SHARE OR LEAVE YOUR COMMENT ..